Ahad 20 May 2018 05:30 WIB

Perang Asimetris Lawan Teroris

Indonesia punya kekuatan cemerlang untuk basmi teorisme.

terorisme
Foto: cicak.or.id
terorisme

Oleh: Selamat Ginting, Jurnalis Republika

Markas komando pasukan elite kepolisian dikuasai teroris selama 36 jam. Itu bukan adegan di film. Bukan fiksi dan bukan pula fiktif. Itu fakta dan faktual. Bukan pula mimpi, ini nyata! Terjadi pada Selasa (8/5/2018) sampai Kamis (10/5/2018) pagi. Luar biasa!

Saya harus katakan, ini sesuatu yang menyedihkan (kata ganti memalukan) bagi bangsa. Bagaimana mungkin markas pasukan elite kepolisian (Brimob) bisa dikuasai teroris selama 36 jam?

Oke-lah kalau soal lima korban anggota polisi yang gugur, duka cita mendalam dan mendoakan yang terbaik untuk almarhum dan keluarganya. Aamiin.

Tetapi teroris menguasai markas Brimob, tentu menjadi berita menarik bagi pers. Peristiwa ini menyita perhatian internasional sekaligus mengumumkan betapa buruknya pasukan elite kepolisian Indonesia. Malu, rasanya. Siapa bertanggung jawab? Apa sanksi terhadap komandan Brimob?

Teroris Eksis

Kita punya sejarah cemerlang ketika TNI berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam. Bukan 36 jam. Ya, Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebuah serangan militer yang dilaksanakan terhadap tentara Belanda di Kota Yogyakarta.

Apa tujuannya? Untuk membuktikan kepada dunia bahwa TNI dan Republik Indonesia masih ada dan cukup kuat.

Dampaknya, memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Sekaligus mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia bahwa TNI masih bisa melawan pasukan Belanda.

Maka, dikuasainya markas Brimob selama 36 jam pun menjadi kampanye bahwa teroris di Indonesia makin eksis. "Gue masih ada, mau apa lu?!" begitu kira-kira perumpamaannya. Mau apa lu?! Ya, harus kita lawan. Libas!

Apalagi terorisme di Indonesia bukan lagi areal keamanan dalam negeri yang menjadi tugas utama kepolisian. Permohonan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian meminta bantuan pasukan kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memberikan sinyal itu. Apalagi setelah kasus di markas komando Brimob ada rentetan lain di Surabaya, Sidoarjo, dan Polda Riau.

Intelijen kepolisian memang berkisar pada reserse atau detektif dan kamtibmas. Bukan intelijen tempur atau sandi yudha. Padahal terorisme sudah menantang dengan 
perang asimetris. Perang yang dilakukan melalui budaya, ekonomi keuangan, serta teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuannya jelas, menyebarkan ajaran ideologi radikal. Mengganti ideologi negara dengan ideologi tertentu, melalui aksi kekerasan untuk menebar ketakutan, mengikis kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga negara. Kasus 36 jam di markas komando Brimob ini sekaligus memenangkan heart and mind masyarakat melalui delegitimasi negara.

Perang asimetris yang dilakukan teroris, secara tidak langsung memengaruhi dan meresahkan masyarakat. Polisi elite saja ditaklukan, bagaimana polisi biasa dan masyarakat sipil?

Skala global

Di sini, kita harus berbenah. Berbekal menjadi wartawan yang konsentrasi dalam masalah-masalah politik, pertahanan keamanan negara sejak 1993, saya merasa perlu mengingatkan pemerintah. Bangun dari tidurmu. Kita punya salah satu musuh bersama: terorisme!

Perang asimetris yang dilakukan teroris ini sudah skala global, bukan skala dalam negeri. Saya coba tutup mata untuk urusan belum selesainya pembahasan revisi UU Terorisme. Bagi saya, pemerintah dan parlemen harus disentil di sini. Terorisme di depan mata, kalian malah saling lempar tanggung jawab. Buka mata lebar-lebar!

Respons kedaruratan pemerintah dalam kasus itu, akan segera menghidupkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI. Sebuah kekuatan gabungan personel satuan elite militer tiga matra. Tentu saja mengandalkan intelijen tempur yang tidak dimiliki korps kepolisian.

Di sini mestinya pemerintah tidak perlu berkoar-koar dan tidak perlu sampai menjadi urusan presiden. Ini masalah areal pertahanan negara. Cukup Panglima TNI didampingi KSAD, KSAL, KSAU, dan Kasum TNI. Jika melibatkan presiden, justru akan memperpanjang jalur komando. Padahal untuk melawan terorisme butuh kecepatan dalam pengambilan keputusan. Kondisi kritis!

Komando operasi khusus gabungan itu terdiri dari Sat-81 Kopassus TNI-AD, Denjaka TNI-AL dan Satbravo-90 Korpaskhas TNI-AU. Masing-masing punya spesialisasi berbeda. Karena itu kita harus lihat dahulu yang dihadapi: siapa terorisnya, seperti apa, bagaimana, dan di mana medannya?

Kita bedah dulu kemampuan masing-masing pasukan elite TNI tersebut. Sat-81 Kopassus spesialisasinya pembebasan sandera dalam waktu ekstra cepat. Kemampuan operasi pembebasan sandera dalam hitungan detik sejak bom blast ledakan C-4 pembuka pintu pesawat atau gedung; tembakan dilakukan dengan sasaran kepala dalam hitungan detik, sehingga teroris tidak sempat menarik picu senjata. Tidak diragukan lagi mereka sebagai yang terbaik di dunia. Termasuk operasi pendudukan wilayah melalui penerjunan cepat dan tepat sasaran dari pesawat terbang, mereka kuasai.

Kopassus memiliki kualifikasi para komando (Grup 1), sandi yudha atau intelijen tempur (Grup 2 dan 3) serta gultor plus (Sat-81). Apakah cukup Sat-81 saja? Padahal menghadapi teroris diperlukan pasokan informasi intelijen dari Grup Sandi Yudha?

Sedangkan Denjaka (detasemen jala mangkara), satuan gabungan antara personel Kopaska (komando pasukan katak) dan Taifib (intai amfibi) Korps Marinir. Anggota Denjaka dididik PTAL (Penanggulangan Teror Aspek Laut). Spesialisasinya lebih ke inflitrasi dan demolisi air plus tembak jitu.

Sementara Satbravo-90 merupakan personel pilihan dari Korps Pasukan Khas TNI-AU. Bertugas melaksanakan operasi intelijen, melumpuhkan alutsista/instalasi musuh dalam mendukung operasi udara dan penindakan teror bajak udara. Jadi lebih ke securing airstrip, perebutan bandara dan pengendali tempur.

Tidak mudah menggabungkan mereka dalam sebuah operasi gabungan. Kekuatan gabungan 90 personel, artinya hanya setara tiga peleton atau satu kompi minus.

Pasukan darurat

Dalam ilmu militer tentu tidak sembarangan menggunakan unit satuan. Diperlukan diskursus strategis, sebab ketiga satuan elite TNI plus Densus 88 Polri merupakan ETF (Emergency Task Force).

Karena itu Koopssusgab TNI lebih sebagai pasukan penindak saja. Sementara musuh tersebar di sejumlah wilayah Nusantara. Untuk pasokan informasi diperlukan dari Densus 88 Polri dan intelijen tempur, kita memerlukan pasukan Sandi Yudha Kopassus. Mereka tahan menderita dalam penyamaran di medan musuh untuk waktu yang tidak ditentukan. Mereka pun paham one way ticket. Pergi tidak untuk kembali.

Jika keadaan negara dalam emergency teroris, maka pola yang dilakukan seperti negara dalam kondisi darurat perang atau SOB (situation of battle) untuk waktu tertentu. Ini proxy war, tidak terlihat siapa otaknya. Mereka menggunakan pihak ketiga untuk melemahkan Indonesia.

Perang asimetris di depan mata kita. Masyarakat bisa terima hal itu atau tidak? Pikiran masyarakat, sampai ke situ (proxy war dan perang asimetris) atau tidak? Itu masalahnya.

Bagaimana soal payung hukum Koopssusgab TNI? Simple saja, gunakan Undang-undang TNI. Tugas-tugas yang ditangani sifatnya extraordinary operation. Untuk menghadapi perang asimetris ini, Komnas HAM belajar dulu tentang apa itu proxy war dan asimetric war, supaya paham.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement