Rabu 05 Dec 2018 09:35 WIB

Reuni 212 Sukses Digelar, Perlukah Ada Kekhawatiran?

Isu-isu politik identitas sepertinya sulit untuk menggoyang Jokowi

Bayu Hermawan
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Reuni akbar 212 sukses digelar pada Ahad lalu. Apresiasi tinggi harus diberikan kepada seluruh masyarakat yang hadir dalam kegiatan tersebut, yang sekali lagi membuktikan tak perlu ada kekhawatiran dengan digelarnya aksi-aksi semacan 212. Selain jalannya aksi, yang berdasarkan klaim panitia diikuti jutaan orang itu, yang juga menarik perhatian adalah kegiatan Joko Widodo (Jokowi), presiden sekaligus calon presiden pejawat pada hari itu.

Seperti kita tahu, Jokowi memang tidak hadir dalam kegiatan tersebut. Ia lebih memilih beraktivitas di Kota Hujan, Bogor, yang selama ini memang menjadi lokasi favoritnya untuk berbagai aktivitas. Hari itu, Jokowi memilih berolahraga santai dan menyaksikan instalasi listrik bagi warga yang belum mempunyai sambungan listrik tetap.

Saya menilai apa yang dilakukan Jokowi sudah tepat. Bukan karena mengabaikan kegiatan besar umat Islam, tetapi jika Jokowi hadir justru hal tersebut akan menimbulkan pro dan kontra. Pertama, jika hadir, status Jokowi adalah tamu tak diundang, begitu berdasarkan keterangan dari panitia yang memang memutuskan tidak mengundang Jokowi. Tentu hal ini akan berbuntut panjang, opini-opini justru akan bergulir negatif ke arah Jokowi.

Kemungkinan akan ada pihak yang memainkan jika Jokowi memanfaatkan aksi tersebut untuk mencoba meraih dukungan dari masyarakat. Dengan tidak hadir, Jokowi setidaknya bisa menghindarkan diri dari pendapat ikut memainkan politik identitias di Pilpres 2019, dan politisasi agama. Sejak awal bergulirnya rencana reuni 212, sikap Jokowi pun sudah tepat, dengan tidak memberikan komentar apa pun yang bisa memancing polemik.

Sikap kubu Jokowi pascaaksi 212 juga sudah tepat, dengan tidak mempersoalkan ada tidaknya pelanggaran pemilu di aksi tersebut. Hal ini dinilai membuat pembentukan opini yang mengatakan Jokowi anti 212 tidak terbukti, padahal jika mau mengklaim, Jokowi bisa disebut juga merupakan alumni 212,  karena hadir pada 2016 lalu.

Sekali lagi menurut saya, apa yang dilakukan Jokowi dan kubunya sudah tepat. Sebab, saya menilai isu-isu politik identitas bukan sesuatu yang harus sangat diwaspadai Jokowi di Pilpres 2019. Saya melihat masyarakat pun sudah cerdas, meski ada insiden-insiden yang berbau agama, seperti pembakaran bendera tauhid beberapa waktu lalu, namun dari respons masyarakat bisa dilihat hal ini tidak cukup bisa digunakan untuk mendegradasi elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin.

Justru apa yang dilakukan oleh Jokowi pada Ahad, 2 Desember lalu, yang menurut saya memang harus sering dilakukan. Seperti diketahui, hari itu, Jokowi membagi-bagikan listrik gratis bagi masyarakat. Mengapa tepat? karena isu-isu ekonomi justru yang sangat harus diwaspadai oleh Jokowi. Isu-isu ini yang bisa digunakan oleh kubu penantang untuk mengerus dukungan Jokowi dan menambah dukungan bagi pihak mereka.

Hal ini bisa terlihat dengan gencarnya cawapres Sandiaga Uno blusukan ke pasar. Penantang sadar bahwa bagi banyak masyarakat, urusan perut dan dompet, lebih penting dari apa pun. Narasi-narasi yang dibangun oleh kubu penantang mulai dari tempe setipis kartu ATM hingga tampang tak punya uang, jika dilihat sekilas memang terkesan remeh-temeh. Namun, jika itu terus diulang, maka masyarakat akan terbawa untuk berpikir dan membenarkan pernyataan-pernyataan tersebut, akibatnya masyarakat akan mengakui jika kondisi ekonomi saat  ini sulit.

Beberapa waktu lalu, lembaga survei Median juga merilis hasil surveinya. Dalam survei tersebut menunjukan jika elektabiltas Jokowi-Ma'ruf Amin masih berada di bawah lima puluh persen. Survei juga mengatakan jika pasangan capres-cawapres pejawat hanya terpaut 12,2 persen dari pasangan Prabowo-Sandi, yang merupakan penantang. Menurut Median, hal tersebut bukan karena masalah isu-isu politik identitas, SARA dan semacamnya. Median menyebut, masalah ekonomi, lapangan pekerjaan, harga sembako menjadi masalah yang paling memberatkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf.

Terlepas bagaimana tanggapan tim kampanye nasional, tetapi hasil survei ini tidak boleh dianggap sepi. Survei ini harusnya menjadi 'lampu kuning' bagi kubu pejawat untuk waspada, karena memang kenyataannya kubu penantang pun gencar memainkan isu-isu berbau ekonomi dan kebijakan pemerintah.

Sehingga ke depan, ada baiknya Jokowi dan TKN mengubah gaya dan strategi kampanye. Jokowi dan TKN mulai membangun narasi-narasi yang menerangkan apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Tentu dengan gaya bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Tak perlu juga terpancing melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial seperti ‘tabok' dan semacamnya. 

Jika Jokowi dan tim kampanyenya mampu meyakinkan dan menjaga kondisi ekonomi baik, maka tidak perlu khawatir dengan serangan-serangan isu negatif terkait politik identitas. Jika masyarakat kenyang makan, enak tidur dan mudah mencari nafkah, maka masyarakat akan cerdas berpikir dan tak mudah terpengaruh isu negatif.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement