REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*
Baru saja kami menyambut kedatangan Wakil Presiden Federation of Islamic Associations of New Zealand (FIANZ), Dr Mustafa Farouk beberapa waktu lalu. Dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke Republika, Mustafa mengatakan kehidupan antar umat beragama di negerinya amatlah damai dan hampir tidak ada konflik.
"Alhamdulillah kami hidup dengan damai. Kristen, Budha, Hindu, Islam, Yahudi hidup berdampingan. terkadang suka ada masalah individu, tapi tidak menjadi besar," kata lelaki yang juga bekerja sebagai peneliti senior di AgResearch Limited, bidang metabolisme makanan dan mikrobiologi kepada Republika.co.id.
Muslim di negeri Kiwi itu juga membuka pintu masjid lebar-lebar bagi siapa saja termasuk nonmuslim. "Mereka dapat melihat isi masjid, arsitektur, tentang Islam dan kami juga suka berdialog," paparnya.
Hanya saja dalam wawancara Mustafa Farouk dengan New York Times, hari ini (15/3) ia seakan-akan tak bisa berkata apa-apa. Ia mengaku kaget atau shock atas tragedi yang menimpa umat Muslim di Christchurch.
Negeri yang begitu aman ternyata bisa dirasuki ideologi ekstrimisme. Bukan lagi terorisme atas nama agama, akan tetapi ras.
Serangan Jumat
Sebanyak 49 orang muslim yang akan melakukan Shalat Jumat meninggal dunia diberondong senapan laras panjang oleh beberapa teroris kulit 'putih' di dua masjid yang berbeda. Sementara puluhan lainnya terluka dan sedang mendapat pertolongan petugas setempat.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyebut serangan ini adalah tindakan teroris yang dilakukan secara terencana. Selain itu menurut dia serangan sudah direncanakan dengan baik.
Bahkan pelaku sudah mempersiapkan bahan peledak yang ditemukan ada mobil milik mereka."Saat ini ada empat orang yang telah ditangkap tetapi tiga yang terhubung dengan serangan ini masuk dalam tahanan. Salah satunya secara terbuka menyatakan mereka lahir di Australia," ucap dia.
Ia mengecam aksi biadab yang dilakukan para teroris ini. "Ini adalah orang-orang yang saya gambarkan memiliki pandangan ekstremis yang sama sekali tidak punya tempat di Australia dan bahkan tempat lainnya," ujar dia.
Banyak orang tak menyangka aksi kejahatan ini bisa diterjadi di Selandia Baru. Alasannya, negeri ini begitu aman, damai dan minim diskriminasi.
Tak heran dalam Global Peace Index 2018, Selandia Baru menempati peringkat kedua dalam daftar negara paling damai di dunia. Selandia Baru mendapatkan skor 1,192 poin tepat berada di bawah negeri dingin Islandia yang memiliki nilai 1,096. Posisi keduanya tidak banyak berubah bila melihat data dalam dua tahun terakhir.
Supremasi Kulit Putih
Ternyata rasa aman dan damai yang diberikan Selandia Baru menarik, salah satu tersangka Brenton Tarrant melakukan serangan. Meski negeri ini bukan menjadi target pertama, namun dalam manifestonya ia menyebut serangan di negeri itu akan membangunkan semua pihak bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia.
Sebelum melakukan serangan pelaku yang mengindentifikasi diri sebagai Brenton memang mengunggah manifesto sebanyak 73 halaman di media sosial miliknya. Ia menyebut dirinya sebagai pengikut supremasi kulit putih dan seorang fasis.
Istilah ini mengerucut pada pandangan kulit putih lebih superior dibandingkan berwarna. Seperti lebah mereka mulai menyebar saat Pilpres Amerika Serikat yang melahirkan Presiden Donald Trump.
Mereka sering kali melakukan unjuk rasa dan menyebut diri Ku Klux Klan, Neo Nazi atau Alt-Right. Beberapa pelaku serangan maupun rencana penyerangan terhadap warga di Amerika Serikat juga diyakini terafiliasi dengan ideologi ras ini. Tak hanya di Amerika Serikat, Eropa juga mulai terjangkiti ideologi ini.
Soal ras, tak jauh-jauh, semangat untuk menyingkirkan ras lain juga menjangkiti Myanmar. Gagasan Ras Nasional atau tainggyintha yang lahir sejak 1920an ini memicu lahirnya kekerasan komunal khususnya kepada etnis Rohingya.
Sepertinya Hantu SARA akan tetap menghantui dunia, bahkan di negeri paling aman dan damai sekalipun. Sebuah pekerjaan yang berat namun tidak mustahil adalah menjaga kedamaian di hati kita semua.
Seperti yang tersampaikan dalam potongan surat Al Maidah ayat 23, “…barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..."
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id