REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*
Saya termasuk yang tidak percaya, jika konflik berdarah yang melibatkan umat beragama dalam sejarah peradaban manusia dimotivasi 100 persen oleh kebencian dan fanatisme akut terhadap agama itu sendiri. Perseteruan yang menyeret komunitas beragama, lebih disebabkan faktor eksternal yang sama sekali tidak berkaitan dengan kehadiran, fungsi, serta peran agama dalam masyarakat.
Faktor luar itu kerap lebih meniadakan moral dengan aneka pembenaran. Syahwat politik, ambisi kekuasaan, dan kebencian terhadap entitas (yang bukan pada agama), serta sosial ekonomi, menjadi di antara pemicu rentannya gesekan yang menyeret umat beragama.
Dalam artikelnya berjudul The Myth of Religious Violence, yang ditayangkan The Gurdian, Keren Armstrong menulis bahwa agama bukanlah kegiatan yang terpisah, tertutup rapat dari semua yang lain melainkan, ia merasuki semua usaha manusia, termasuk ekonomi, pembangunan negara, politik, dan perang.
Sebelum 1700, mustahil bagi orang untuk mengatakan di mana, misalnya, politik berakhir dan agama dimulai. Perang Salib tentu saja diilhami oleh semangat keagamaan tetapi mereka juga sangat politis: Paus Urbanus II membiarkan para ksatria mereka untuk memperluas kekuatan gereja ke arah timur dan menciptakan monarki kepausan yang akan mengendalikan Eropa Kristen.
Demikian pula, perang agama Eropa dan perang tiga puluh tahun tentu saja diperparah pertikaian sektarian Protestan dan Katolik, tetapi kekerasan mereka merefleksikan kepedihan kelahiran negara-bangsa modern.
Perang-perang Eropa inilah, pada abad ke-16 dan ke-17, yang membantu menciptakan apa yang disebut mitos kekerasan agama. Orang-orang Protestan dan Katolik begitu meradang oleh hasrat teologis reformasi sehingga mereka saling membantai dalam pertempuran tak berperikemanusiaan yang menewaskan 35 persen populasi Eropa tengah.
Armstrong menulis: “Jika perang agama semata-mata dimotivasi kefanatikan sektarian, kita seharusnya tidak berharap menemukan bahwa umat Protestan dan Katolik bertempur di pihak yang sama, namun pada kenyataannya mereka sering melakukannya.”
Termasuk ketika membaca kasus penembakan brutal teroris Brenton Tarrant asal Australia dan dua pelaku lainnya terhadap umat Islam di dua masjid Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019) yang mengakibatkan 50 Muslim meninggal dunia.
Kebenciannya terhadap imigran menjadi motif utama aksi terornya yang biadab. Tarrant menganggap para imigran yang datang ke negara-negara Barat dengan budaya dan agama yang mereka bawa, adalah serangan dan ancaman (aggression and hostility).
Aksinya terinspirasi teori the great replacement. Teori yang berangkat dari novel 'Le Camp des Saints; karya Jean Raspail, terbit pada 1973 ini mempunyai doktrin yaitu berkurangnya secara drastis dan sistematif populasi kulit putih Prancis dan Eropa akibat kehadiran imigran, terutama yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika sub-Sahara. Teori sama yang menjadi pijakan politik anti-imigran partai ekstrem sayap kanan di Eropa.
Dalam manifestonya, Tarrant menulis: “Untuk menunjukkan kepada penjajah bahwa tanah kami tidak akan pernah menjadi tanah mereka, tanah air kami adalah milik kami sendiri dan selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami dan mereka tidak akan pernah menggantikan kami."
Aksi Tarrant, pada hakikatnya, sama sekali tak berkaitan dengan agama, sekalipun dia menargetkan sebuah entitas yang tengah menjalankan keyakinan agama mereka. Tarrant tengah membenci imigran dengan ragam budaya dan peradaban yang mereka bawa.
Sementara kehadiran imigran Muslim di Selandia memang sangat signifikan. Sensus terakhir yang dilakukan pada 2006, ada 36.072 pengikut Islam, di Selandia Baru sebagian besar berasal dari Asia. Bahkan pada 2030, menurut kajian Pew Research Center, populasi Muslim di negara berjuluk negeri Kiwi tersebut diperkirakan akan bertambah hingga 100 ribu di Selandia Baru.
Terlepas dari kontroversi di seputar pembacaan dan prediksi Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) ihwal benturan peradaban, dalam konteks apa yang tengah terjadi di era sekarang, bisa saja terbukti. Benturan itu muncul akibat gesekan-gesekan, meski tak sepenuhnya murni karena agama, tetapi akibat faktor-faktor ekstrenal yang melekat pada entitas beragama itu sendiri.
Dalam penjabaran Huntington, peradaban tersebut dibatasi unsur-unsur yang sangat obyektif semisal bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Gejolak Islamofobia dan xenobia di negara-negara Barat yang terus meningkat dan berada di level yang sangat mengkhawatirkan, meski masih arus diuji, adalah indikator yang kuat, tentang benturan peradaban itu dalam skala yang sangat kecil: sosial masyarakat.
Tentu, sikap Tarrant tak mewakili wajah Selandia Baru pada khususnya, dan rupa Barat pada umumnya. Tarrant juga tak mewakili agama apapun dan tidak sedang membawa identitas agama manapun. Tarrant benci imigran, itu saja.
Rupa sejuk agama secara umum telah ditunjukkan Jumat (22/3) lalu saat untuk kali pertama, shalat Jumat digelar besar-besaran yang disaksikan ribuan warga Selandia Baru, tepat di lapangan Hagley Park di sekitar masjid Al Noor, Christchurch. Warga Selandia Baru dengan beragam latar belakang agama, bergabung dalam acara perkabungan di sejumlah kota, seperti Auckland, Wellington, dan Nelson pada waktu bersamaan.
Agama, menurut cendekiawan asal Mesir, Mohammed Abdullah Draz dalam mahakaryanya bertajuk ad-Din; Buhuts Mumahhadah li Dirasat Tarikh al-Adyan, diperuntukkan Tuhan agar segenap manusia bisa mewujudkan interaksi sosial yang mulia berbasis tuntunan agama nan luhur. Inti agama adalah kasih sayang, toleransi, dan kebaikan untuk semua.
Selandia Baru menyampaikan pesan, betapa risalah suci agama telah menyatukan hati dunia dan tak akan terkoyak betapapun manuver dan konspirasi jahat berusaha bertubi-tubi mengoyaknya. Dan, saya selalu optimis, bahwa kerukunan umat beragama tetap akan baik-baik saja, sekalipun ada riak, tetapi tak akan melunturkan semangat untuk tetap bersatu.
“Hari ini, dari tempat yang sama, saat saya melihat keluar, saya melihat cinta dan kasih sayang di mata ribuan sesama warga Selandia Baru dan sesama manusia dari seluruh dunia, yang memenuhi hati jutaan orang yang tidak bersama kita secara fisik tetapi satu ikatan hati. Terima kasih atas air matamu. Terima kasih atas pemberianmu. Terima kasih untuk bungamu. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang kamu,” kata Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda, dalam khutbahnya, Jumat (22/3/2019), yang juga dihadiri pejabat setempat, termasuk Perdana Menteri Selandia baru, Jacinda Ardern.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id