REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christia Ningsih*
Pemilihan Umum (Pemilu) baru saja dilaksanakan pada 17 April lalu. Pemilu yang juga kerap disebut sebagai pesta demokrasi nyatanya tak betul-betul menghadirkan suasana pesta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pesta diartikan sebagai perjamuan makan minum (bersuka ria dan sebagainya), perayaan. Benarkah kita benar-benar bersuka ria?
Kenyataannya di sejumlah daerah perhelatan yang diistilahkan dengan pesta ini justru berakhir nestapa. Di Sampang Madura, dua insiden mewarnai jalannya pemungutan suara. Pertama, penembakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 7 Dusun Tapaan Tengah, Desa Tapaan, Banyuates, Sampang akibat berebut mandat saksi. Kedua, kericuhan yang terjadi karena dua pemuda melarikan kotak suara di sebuah TPS yang berlokasi di Bebeleh, Robatal, Sampang karena caleg yang diusungnya gagal.
Meninggalnya lebih dari 20 petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), akibat kelelahan saat bertugas mengawal jalannya pemilu ikut menambah panjang daftar duka saat berlangsungnya 'pesta'. Angka itu belum ditambah dengan sejumlah anggota kepolisian yang juga meninggal saat mengawal Pemilu. Sampai tulisan ini dibuat, tercatat ada sembilan anggota kepolisian meninggal karena kelelahan.
Di media sosial dan portal berita, kita dengan mudah mendapat informasi betapa meletihkannya jam kerja para petugas KPPS dan polisi demi menyukseskan jalannya pemilu. Berangkat pagi, pulang di pagi berikutnya.
Bagaimana tidak, pilpres dan pileg dari tingkat pusat sampai kabupaten yang dilakukan serentak membuat mereka harus menghitung ribuan kertas suara dan tak boleh meleset sedikit pun. Wajar jika energi terkuras habis demi hajat lima tahunan ini. Memang secara keseluruhan pemilu berlangsung lancar dan tertib, tetapi riak-riak yang terjadi itu jangan hanya dianggap angin lalu.
Linimasa media sosial saya dijejali dengan tanda pagar #pahlawandemokrasi kala gelombang berita duka tersebut sampai ke hadapan masyarakat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah perlu segera mengevaluasi jalannya Pemilu kemarin. Efektifkah penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak yang meletihkan banyak pihak hingga jatuh korban jiwa?
Di samping itu, jika di masa yang akan datang momen serupa terulang lagi perlu dipikirkan seleksi yang lebih ketat terkait kesehatan para petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Cek kesehatan dan batasan umur menjadi poin penting sebelum mereka diterima sebagai petugas TPS.
Tahapan penghitungan dan administrasi penghitungan juga perlu ditinjau kembali. Apakah kelelahan para petugas salah satunya disebabkan alur pencatatan yang terlalu panjang? Jika ya, maka seyogyanya alur tersebut dapat dipangkas sehingga jadi lebih ringkas.
Terkait dengan kericuhan yang terjadi di Sampang, kita menyaksikan sendiri bagaimana pemilu bisa membuat emosi jadi tak terkendali. Bicara soal emosi, para caleg juga hendaknya menjaga emosi dan kesehatan mentalnya pascapemilu ini. Di berbagai daerah, RSUD dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) sudah menyiapkan ruang bagi para caleg yang gagal lolos Pemilu. Pada Pemilu 2009 dan 2014, rumah sakit banyak menerima pasien dengan gangguan jiwa akibat gagal nyaleg.
Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, bukan tak mungkin fenomena serupa akan terulang kembali tahun ini. Tak semua caleg siap menghadapi kenyataan kehilangan jutaan bahkan milyaran rupiah untuk kampanye tapi gagal merasakan empuknya kursi anggota dewan. Akibatnya, stres dan depresi menyerang para caleg gagal.
Pemilu tahun ini diikuti sekitar 240 ribuan caleg namun kursi yang tersedia hanya 10 persennya. Jelas akan ada ratusan ribu harapan yang pupus usai penghitungan suara usai. Bahkan mengutip data KPU akhir 2018 lalu, di antara seluruh caleg yang maju berlaga sebanyak 2.700-an caleg tidak atau belum punya pekerjaan. Artinya di antara caleg tersebut ada yang sedang tidak memperjuangkan perubahan nasib rakyat tapi tengah memperjuangkan perubahan nasibnya sendiri.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menerangkan gangguan jiwa yang bisa melanda para caleg gagal bervariasi. Mulai dari gangguan jiwa ringan seperti depresi, berat atau psikosis akut, sampai bunuh diri.
Demi menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut, baik caleg, paslon capres cawapres, dan para pendukungnya hendaknya sejak awal menyadari dalam sebuah kontestasi menang kalah adalah hal biasa. Janganlah terlalu ambisius dan meletakkan harapan menjulang pada pemilu karena kemungkinan gagal pasti ada. Jangan pula terlalu fanatik pada calon tertentu hingga kita tak mampu mengendalikan emosi dan mengganggu kesehatan mental.
Sekali lagi, pemilu adalah pesta demokrasi. Selayaknya pesta, semua yang terlibat seharusnya bersuka cita dari awal hingga akhir acara. Janganlah yang kita sebut pesta ini justru dibayar mahal dengan munculnya perpecahan, pertikaian, kesakitan, hingga korban jiwa.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id