REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya bergant menuruti undang-undang yang mengatur keberadaan lembaga antirasuah tersebut. Undang-Undang KPK yang disahkan menjelang masa jabatan DPR RI 2014-2019 berakhir mengamanatkan keberadaan satu posisi baru: Dewan Pengawas KPK.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik lima anggota Dewan Pengawas KPK, yang kontroversial ini, bersama lima komisioner KPK periode terbaru, 2019-2023, pada Jumat (19/12). Anggota Dewas KPK yang dilantik, yakni Tumpak Hatorangan Panggabean, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris.
Sementara lima komisioner, yakni Firli Bahuri, Lilik Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron dan Alexander Marwata. Jika proses pemilihan komisioner melibatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI maka Dewas KPK hanya melibatkan presiden.
Pelantikan itu juga memastikan berakhirnya periode KPK di mana komisioner KPK memiliki tanggung jawab terhadap penyidikan dan penuntutan sebuah kasus. UU KPK terbaru tidak lagi memberikan kewenangan kepada komisioner KPK untuk bertanggung jawab soal penyidikan atau penuntutan sebuah kasus.
Bahkan, Ketua KPK periode 2019-2024 Agus Rahardjo sudah mengeluarkan aturan agar keputusan penyidikan dan penuntutan dilakukan pada level direktur, yakni direktur penyidikan untuk dimulainya penyidikan dan direktur penuntutan untuk dimulainya penuntutan. Pada masa lalu, keputusan dimulai atau tidak sebuah penyidikan atau kelanjutan sebuah kasus ke tahap penuntutan diputuskan oleh lima komisioner KPK dalam mekanisme kerja yang disebut kolektif kolegial.
UU KPK terbaru memang masih mengamanatkan pimpinan KPK bekerja kolektif kolegial, tetapi bukan untuk kewenangan penyidikan dan penuntutan. Apakah pimpinan KPK tidak punya kewenangan? Punya, tapi sifatnya lebih administratif.
Firli, Lilik, Nawawi, Nurul dan Alex memiliki tanggung jawab menjalankan kewenganan KPK, yakni mencegah dan mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenganan mencegah, di antaranya tindakan-tindakan pencegahan, dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sementara kewenanan mengoordinasikan, yakni koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik, dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam konteks koordinasi ini, KPK berhak mengambil alih penyidikan kasus yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
Kewenangan-kewenangan pimpinan KPK terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi hanya sebatas pada pengangkatan penyelidik dan penyidik di lembaga antirasuah. Kemudian, pimpinan KPK juga berkewenangan mengajukan permintaan tertulis untuk mendapatkan izin penyadapan kepada Dewas KPK.
Jika ada kewengan yang lebih dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan maka hal itu hanya terkait pencabutan penghentian penyidikan. Pimpinan KPK dapat mencabut penghentian penyidikan jika ditemukan bukti baru, atau berdasarkan putusan praperadilan.
Meski pimpinan KPK tugasnya hanya mencegah, dan mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, baik di dalam instansi lembaga antirasuah maupun dengan lembaga di luar KPK, kinerjanya tetap diawasi oleh Dewas KPK. Tidak seperti namanya, Dewas KPK bukan hanya melakukan pengawasan terhadap kinerja pimpinan KPK.
Dalam tugas pengawasannya, Dewas KPK harus membuat kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menindaklanjuti laporan masyarakat jika ada dugaan kode etik, dan menyelenggarakan sidang jika memang ada pelanggaran kode etik. Tidak hanya itu, Dewas KPK harus mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK satu tahun sekali.
Jika pimpinan KPK tak punya kewenangan besar dalam hal penyelidikan dan penyidikan maka tidak demikian dengan Dewas KPK. Tumpak, Artidjo, Albertina, Harjono, dan Syamsuddin berkewenganan memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan, siapakah sebenarnya yang memimpin KPK? Apakah tidak ada kekhawatiran ada dua ‘matahari’ di lembaga antirasuah?
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id