REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*
Ketika pertama kali mendengar gagasan calon jamaah haji Indonesia akan diuji coba menggunakan kartu uang elektronik atau e-money saya girang. Kartu itu disebut akan berisi uang jatah hidup jamaah selama di Tanah Suci.
Tentunya lebih mudah ketimbang membawa lembaran-lembaran riyal. Jamaah juga tak perlu pusing mencari tempat penukaran mata uang.
Dalam paparan kinerja Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Rabu lalu, BPKH mengatakan tahun ini akan melakukan uji coba menggunakan uang elektronik sebagai media pembayaran bagi jamaah haji. Uji coba akan dilakukan di dua embarkasi, yakni Embarkasi Jakarta dan Jawa Barat. Jumlahnya sekitar 500 kartu.
Media nontunai itu nantinya akan berupa e-money, ATM atau kartu debit. Fungsinya banyak, jamaah bisa belanja, bisa tarik tunai lebih dari Rp 2 juta, dan bisa bayar dam atau denda. Kartu tersebut dapat berfungi sebagai kartu identitas dan di dalamnya terdapat nomor virtual account. Bahkan, katanya akan ada promo menarik.
Menarik idenya dan patut diapresiasi. Tapi, demografi jamaah kita yang 76 persen berusia lanjut. Lalu, BPKH mengatakan sekitar 42 persen jamaah kita lulusan SD dan SMP. Mereka tentu tidak akrab dengan uang elektronik, bahkan mungkin tidak tahu konsep tersebut.
Perkara kartu uang elektronik ini, tidak usah jauh ke jamaah haji. Jika Anda masuk ke kawasan Gelora Bung Karno, Anda diwajibkan menggunakan kartu uang elektronik. Coba datang ketika ada resepsi pernikahan, pameran, atau acara festival.
Niscaya, Anda akan menemukan begitu banyak orang yang tidak punya kartu uang elektronik. Mereka biasanya bingung atau cengar-cengir di depan mesin pemindai kartu karena tidak bisa masuk.
Itu hanya survei kecil-kecilan saya saja. Tentunya tidak bisa mewakili seberapa banyak penetrasi kartu uang elektronik di masyarakat.
Iya, BPKH akan mengkhususkan uang elektronik itu bagi jamaah yang sudah terbiasa, kemudian bagaimana menyeleksinya? Jika semua uang saku jamaah dimasukkan ke dalam satu kartu, mereka tentu akan kebingungan. Kita belum terbiasa dengan budaya cashless. Budaya uang fisik masih melekat.
Sedangkan fungsi kartu sebagai identitas jamaah saya rasa tidak perlu. Toh, jamaah sudah mengenakan gelang identitas dari baja. Gelang ini juga sudah memiliki kode QR berisi data si empunya.
Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Baluki Ahmad mempertanyakan sejauh apa barang atau keperluan bisa dibeli menggunakan e-money. Bagaimana jika jamaah haji ingin jajan roti atau shawarma di pedagang kecil.
Belum lagi jika jamaah lupa nomor PIN kartu debitnya. Lebih bahaya lagi jika kartu uang elektronik sampai hilang karena untuk bertransaksi dengan kartu uang elektronik hanya cukup dengan tap tanpa PIN. Hal itu mungkin terjadi lantaran jamaah haji membawa begitu banyak dokumen.
Petugas haji di lapangan masih disibukkan dengan mengingatkan jamaah agar memakai alas kaki saat berada di Tanah Suci. Jamaah kita masih harus diingatkan berkali-kali pentingnya memakai alas kaki. Karena itu, kasus kaki melepuh selalu ada setiap tahun.
Di satu sisi saya mendukung sosialiasi edukasi dan literasi transaksi nontunai. Di satu sisi lain, begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan BPKH dan pemangku kepentingan untuk menyukseskannya.
Mungkin usul dari pengamat haji dan umrah Indonesia Ade Marfuddin bisa dipertimbangkan. Ade menyarankan tidak semua living cost jamaah dimasukkan ke dalam kartu pembayaran. Sebagian dana dipegang jamaah dalam bentuk tunai.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id