REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif
Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas kerapuhan basis moral kenegaraan. Praktik politik cenderung mengalami pengerdilan menjadi sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, bukan politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama.
Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan mengalami kelumpuhan. Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jauh dari harapan.
Seiring laju perluasan dan pendalaman korupsi, wajah negeri seperti tecermin dari warta media yang menampakkan buruk rupa: kemiskinan keteladanan, kehilangan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, kecelakaan transportasi, dan kerawanan sarana publik.
Pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara justru seperti kehilangan rasa krisis dan tanggung jawab. Kepemimpinan eksekutif, legislatif, dan yudikatif lebih mempedulikan “apa yang dapat diambil dari negara”, bukan “apa yang dapat diberikan pada negara”. Kepemimpinan negara tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya.
Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan, lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial. Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya.
Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar, bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.” Untuk mengatasi krisis multidimensi tersebut, kita perlu kembali ke titik ”normal” (berlakunya norm).
Dengan bantuan perspektif sosiologi dalam menjelaskan krisis sosial, prioritas terpenting dalam usaha pemulihan “normalitas” (keteraturan) itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktualisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan. Kepemimpinan yang dapat mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.
Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan setiap masyarakat dan segala zaman, masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan lebih besar sekaligus pemimpin besar (great men) dibanding pada masa normal. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan munculnya pemimpin kharismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.
Namun, perkembangan antiteori terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tapi pemimpin-pemimpin kharismatik tak kunjung muncul atau hanya se saat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana se perti inilah yang sekarang di ratapi sebagai krisis kepemimpinan.
Hal itu terjadi karena rekruitmen kepemimpinan yang dikembangkan di era reformasi ini lebih mengandalkan sumber daya “alokatif” ketimbang “otoritatif.” Yang pertama berarti kemampuan kontrol atas fasilitas material, sedangkan yang kedua adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berda sarkan ke wibawaan visi dan ideologis.
Yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari para pemimpin. Akibatnya, partai politik ga gal mereproduksi intelektual organiknya. Sedangkan para pemimpin yang punya bibit kharismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika “alokatif”, yang begitu cepat menggerus kewibawaannya.
Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak jua memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu mengadang kita. Itulah mengapa new deal harus di perjuangkan seiring dengan kemunculan new dealers.
Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana ke kuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana memperjuangkan kebajikan bersama (virtues). Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar me ngem ban tugas, menuntun dan memperjuang kan keselamatan rakyatnya.
Dan untuk itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri. Seperti kata Vaclav Havel, ”Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam di rinya rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab atas sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.