Selasa 03 Jul 2012 22:00 WIB

Bulan Bung Karno (2)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam pandangan sebagian besar ulama, hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim dinilai sahih belaka, tidak layak dipertanyakan kembali. Bung Karno yang bukan seorang alim dalam arti tradisional telah berani mengkritik hadis-hadis yang berlawanan dengan akal sehat, seperti “… ’dunia’ bagi orang Serani, akhirat bagi orang ‘Muslim’,” atau hadis yang menyatakan bahwa sa tu jam bertafakur adalah lebih baik daripada beribadat satu tahun, atau hadis tentang orangorang Mukmin harus lembek dan menurut se perti unta yang telah ditusuk hidungnya! (DBR I:326).

Bung Karno melalui pendidikan Baratnya memang mempunyai akal merdeka yang sulit kita jumpai di kalangan kaum santri pada era itu. Tentu saja hasil akal merdeka Bung Karno ini tidak perlu diterima begitu saja, tetapi semangat juangnya untuk membebaskan umat Islam agar beranjak dari posisi titik nadir peradaban patut benar dihargai.

Dalam surat ketujuh, tertanggal 14 Desember 1935 (ter tulis 1936), Bung Karno mengalamatkan kritiknya kepada para ulama yang sering berpikiran historis yang menyebabkan mereka buta peta tentang perputaran roda sosial dan kemanusiaan yang bergerak tanpa henti. Kita kutip, “Umumnya kita punya kiai-kiai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikit pun feeling kepada sejarah, ya, boleh saya katakan kebanyakan tak mengetahui sedikit pun dari sejarah itu. Mereka punya minat hanya menuju kepada ‘agama khususi’ sahaja, dan dari agama khususi ini, terutama sekali bagian fikih. Sejarah-apalagi bagian ‘yang lebih dalam,’ yakni yang mempelajari ‘kekuatan-kekuatan masyarakat’ yang ‘menyebabkan’ kemajuannya atau kemundurannya sesuatu bangsa-sejarah itu sama sekali tidak menarik mereka punya perhatian. Padahal, di sini, di sinilah padang penyelidikan yang maha-maha penting.” (DBR I: 332).

Membaca pernyataan keras semacam ini, dalam kilas balik, saya tidak meragukan lagi bahwa Bung Karno yang terlahir sebagai anak jajahan dalam usia 30-an itu memang sedang mencari api Islam itu yang semestinya ditanggapi dengan kepala dingin oleh para ulama dan tokoh-tokoh santri. Saya belum menemukan jawaban Ahmad Hassan terhadap kritik-kritik Bung Karno itu. Jawaban itu menjadi penting bagi kita untuk mengetahui sikap Ahmad Hassan terhadap hadis-hadis yang dipertanyakan Bung Karno itu.

Di Turki, akhir-akhir ini kajian tentang hadis oleh para pakar Muslim telah dan sedang berlangsung. Artinya, kritik Bung Karno yang dilontarkan puluhan tahun yang lalu bukan tanpa dasar. Masalah ini juga saya kemukakan dalam seminar di UIN di atas. Kita tak perlu cemas bilamana status hadis-hadis tertentu dikaji ulang selama ditempatkan di bawah kawalan Alquran dan akal sehat. Bukankah koleksi hadis baru di la kukan antara 200-300 tahun pasca-Nabi yang wafat pada 10 tahun H/632 M? Al-Bukhari wafat pada 256 H/870 M, Muslim wafat pada 261 H/875 M.

Penelitian tentang hadis-hadis ini tidak ha nya menyangkut masalah sanad, tetapi juga tentang matannya yang belum tentu semuanya berasal dari Nabi. Jika Al-Bukhari dan Muslim di nilai mempunyai otoritas untuk itu, mengapa generasi pakar Muslim yang datang kemudian tidak diberi kesempatan untuk melakukan kerja ilmiah serupa?

Mungkin karena turut dicerahkan oleh pendapat-pendapat Ahmad Hassan tentang kemerdekaan berpikir dalam Islam, Bung Karno muncul se bagai orang yang sangat antitaklid. Kita ikuti komentarnya yang juga termuat dalam surat ke-7: “Taklid adalah salah satu sebab yang terbesar dari ke munduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taklid, di situlah kemunduran Islam cepat sekali. Tak hairan! Di mana genius dirantai, di mana akal pikiran diterungku, di situlah datang kematian.” (DBR I: 332).

Namun, di samping mempunyai simpatik yang tinggi kepada organisasi Persatuan Islam, Bung Karno tidak lupa pula menyebut cacatnya dengan mengatakan mempunyai kecenderung an kepada “sektarisme.” (DBR I: 346). Kritik lain dialamatkan kepada Muhammadiyah Beng kulu yang dalam rapat-rapat antara laki-laki dan pe rempuan masih dibatasi dengan tabir yang dinilainya sebagai “simbulnya perbudakan atas perempuan.” (DBR I: 349). Akhirnya, di antara penulis Muslim yang dipuji Bung Karno adalah Mohammad Natsir dengan karyanya dalam bahasa Belanda, Komt Tot Het Gebed (Marilah Shalat), yang menarik hati Bung Karno seperti terbaca dalam DBR I: 326.

Itulah di antara hasil pemikiran Bung Karno tentang Islam pada era sebelum Indonesia merdeka dan sebelum menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Saat berkuasa, tokoh-tokoh Islam modern sering berbenturan politik dengan Bung Karno yang tidak perlu dibicarakan dalam Bulan Bung Karno ini. 

sumber : resonansi
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement