REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ahmad Syafii Maarif
Kemenangan Mursi ini adalah permulaan yang positif bahwa rakyat Mesir ingin berubah, terlepas dari fakta bahwa dukungan rakyat terhadap tokoh Ikhwan ini tidaklah terlalu besar, seperti telah disinggung di atas. Dengan perolehan suara 48,27 persen bagi Ahmed Shafik, pelanjut politik Husni Mubarak, berarti rakyat Mesir masih terbelah dalam menyikapi arah perubahan yang diteriakkan oleh para demonstran di Lapangan Tahrir yang fenomenal itu.
Karena terlalu lama berkuasa, rezim militer telah mencengkeramkan kukunya demikian menghunjam dalam struktur budaya politik Mesir yang sarat dengan kezaliman itu. Sekiranya rezim militer ini dipimpin oleh presiden yang adil dan cerah, boleh jadi Revolusi Tahir tidak akan pernah meledak. Batu karang internal berupa ketidakadilan, pengangguran, perpecahan elite sipil, dominasi militer, dan absennya kebebasan warga sebagai pemicu utama Revolusi Tahrir itu adalah tantangan berat yang mengadang di depan Mursi.
Batu karang eksternal paling serius yang harus dipecahkan Mursi adalah bagaimana menghadapi Israel yang berdasarkan Perjanjian Camp David tahun 1979, Mesir telah berdamai dengan negara Zionis dengan bapak angkatnya Amerika Serikat itu. Ikhwan sejak awal tidak pernah percaya kepada negara rasis Israel, betapapun telah diikat dengan perjanjian damai di era Anwar Sadat yang kemudian tetap dijaga oleh Husni Mubarak sampai rezimnya runtuh.
Amerika Serikat, siapapun, presidennya, pasti akan melindungi Israel dari segala kemungkinan ancaman bagi eksistensinya. Kita tidak tahu bagaimana nanti kebijakan Mursi berhadapan dengan negara Zionis yang keras kepala ini. Dalam al-Ahram, terdapat sembilan artikel dan satu wawancara yang berbicara tentang kemenangan Mursi dan kira-kira bagai mana posisi Mesir selanjutnya. Ahmad Naguib Roushdy, pengacara internasional, menurunkan tulisan dengan judul “The Revolution is at stake” (Revolusi dalam taruhan).
Sebagai seorang intelektual Mesir, Roushdy bersikap sangat kritikal, baik terhadap DTM (Dewan Tertinggi Militer) maupun terhadap Mursi dan kaum revolusioner. Tanpa ragu, Roushdy meminta DTM menyerahkan tampuk kekuasaan secepatnya kepada presiden terpilih. Sebagai ahli hukum, Roushdy mengingatkan, konstitusi Mesir yang berlaku sejak tahun 1923 menempatkan kekuasaan di tangan kepala negara, siapapun kepala negara itu, diktatur atau demokrat.
Dengan demikian, secara konstitusional, militer tidak punya hak lagi untuk menahan kekuasaan itu agar tetap terpegang di tangannya. Seperti dimaklumi, sebelum mundur, Mubarak telah menyerahkan kekuasaan kepada DTM pada 11 Februari 2011. DTM amat berharap agar pemenang dalam pilpres yang lalu adalah Ahmed Shafik. Roushdy sangat menyayangkan mengapa pemuda revolusioner mempercayakan pimpinan revolusi kepada Ikhwan dan kelompok Salafi yang bukan pemain utama dalam revolusi.
Tampaknya pemuda revolusioner terjepit di antara dua kekuatan konservatif: Shafik dan Mursi. Ada informasi, tulis Roushdy, bahwa Mursi pernah menyatakan keinginannya untuk membangun sebuah kekhilafahan Islam baru dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Artinya, Mursi ingin menjadi khalifah buat semua negeri Muslim. Tetapi, Roushdy tidak menyebutkan sumber dari mana da tangnya informasi yang tidak masuk akal itu.
Karena menyadari dukungan terhadapnya tidak terlalu kuat, Mursi secara diam-diam telah membuat kesepakatan dengan pihak militer dan telah “mengobral revolusi untuk dapat dolar” (sold the revolution out for pennies), tulis Roushdy. Mursi menyadari bahwa Ikhwan tak mungkin berkuasa sendiri. Satu-satunya jalan adalah membentuk pemerintahan koalisi, sesuatu yang pasti sarat dengan politik dagang sapi dan tarik-ulur.
Begitu juga, untuk tiga posisi wakil presiden, banyak yang berharap agar salah satunya diserahkan pihak Kristen Koptik yang telah terlibat dalam Revolusi Tahrir. Saya rasa saran ini mestinya diterima Mursi, demi menjaga integrasi bangsa dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Ikhwan tidak antiminoritas. Sekali lagi, kita berharap agar Mursi mau mendengarkan berbagai saran, termasuk yang datang dari saingannya dalam pilpres yang lalu.
Bila langkah ini yang ditempuh, siapa tahu, pandangan-pandangan pesimistis tentang hari depan Mesir tidak akan menjadi kenyataan. Artinya, Revolusi Tahrir akan membuahkan sebuah perubahan fundamental untuk tegaknya keadilan, demokrasi, dan kebebasan bagi semua, tanpa diskriminasi terhadap siapa pun.