Senin 06 Aug 2012 06:30 WIB

Di Masjid Pun Terdengar Pluralisme, Liberalisme...

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri 

Kasus Rhoma Irama yang berkampanye di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat (29/7/), guna memenangkan salah seorang calon gubernur DKI Jakarta, telah menuai pro-kontra di masyarakat. Penyebabnya, dalam ceramahnya saat mendampingi Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, ia membawa-bawa isu SARA. Antara lain, ia mengajak jamaah memilih calon pemimpin yang seiman. Pertanyaannya, bolehkah tempat ibadah, terutama masjid, digunakan untuk kegiatan politik?

Fenomena Rhoma Irama ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Di sejumlah negara Islam (negara berpenduduk mayoritas Muslim) yang baru saja mengenyam demokrasi, perdebatan mengenai fungsi masjid kini sedang ramai. Yakni, apakah masjid hanya digunakan untuk shalat, berzikir, tausiah agama, dan kegiatan ritual lainnya? Ataukah, masjid bisa juga digunakan untuk menyampaikan agenda dan kegiatan politik?

Di negara-negara Islam kerajaan seperti di Teluk (Uni Ermirat Arab, Arab Saudi, Kesultanan Oman, Kuwait, Bahrain, dan Oman), fungsi masjid lebih sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial. Anda jangan berharap mendengarkan khotbah Jumat atau ceramah lainnya yang mengupas soal politik. Apalagi, mengkritik sang penguasa dan pemerintahannya. Hal-hal seperti itu adalah tabu. Bila hal ini dilakukan oleh sang khatib atau sang syekh penceramah, nasibnya sangat jelas. Ia akan dipecat jadi imam atau khatib, dan bahkan bisa saja dikucilkan.

Apalagi, di negara-negara tersebut, imam, khatib, dan marbot masjid adalah pegawai kerajaan. Mereka digaji negara. Hal serupa juga terjadi di sejumlah negara Arab sebelum dilindas al-tsaurat al-arabiyah atau revolusi rakyat. Tepatnya di negara-negara yang diperintah oleh rezim diktator Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Ali Abdullah Saleh (Yaman), Muammar Qadafi (Libia), dan Suriah rezim Bashar Assad.

Pada masa rezim-rezim diktator ini, kegunaan masjid hanya sebatas tempat ibadah dan kegiatan sosial. Para khatib pun boleh dikata hanya seragam sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Ulama-ulama yang mencoba mengkritisi pemerintah, seperti dari kelompok Ikhwanul Muslimin, nasibnya jelas: dikejar dan dijebloskan ke penjara. Namun, kini semuanya sudah berubah. Revolusi rakyat bukan hanya berhasil menurunkan para penguasa rezim diktator. Tapi, juga mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Termasuk fungsi masjid.

Masjid tak lagi untuk mendoakan kesehatan dan panjang umur sang penguasa di akhir khotbah. Juga bukan hanya untuk mengajak jamaah bertakwa dan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Namun, juga untuk kegiatan politik. Maka, saksikanlah, misalnya, kegiatan di Masjid Al-Istiqomah di kawasan Giza, selatan Kairo, Mesir. Tiap malam, seperti dilaporkan harian Al Sharq Al Awsat, masjid itu penuh hingga ke jalan.

Dari pengeras suara sering terdengar keras kata-kata sekularisme, liberalisme, syariah, kembali ke Islam, masyarakat sipil, dukung Presiden Mursi, jangan biarkan rezim Mubarak kembali lagi, tolak militer …, dan seterusnya. Orang yang menyaksikan pertama kali pemandangan seperti itu tentu akan mengira kalau ribuan orang itu sedang mendengarkan orasi politik dari politikus. Bukan. Mereka bukan sedang mengikuti kegiatan politik. Tapi, mereka sedang mendengarkan tausiah dari seorang syekh di sela shalat Isya dan shalat tarawih.

Pemandangan seperti itu bukan hanya di Masjid Istiqomah, Giza, tapi juga di masjid-masjid lain, terutama di kota-kota besar di Mesir. Hampir semua masjid, khususnya pada bulan Ramadhan ini, selalu dipenuhi jamaah hingga halaman masjid. Mereka, menurut Al Sharq Al Awsat, tampaknya memang ingin mendengarkan tausiah politik daripada tausiah agama. Banyak pihak di Mesir menyambut baik fenomena ini.

Apalagi, menurut media online Al Ahram, Presiden Mursi ketika dilantik sudah bertekad membangun Mesir sebagai negara sipil yang modern (al daulah al madaniyah al haditsah). Persoalannya, masyarakat awam banyak yang tak paham dengan apa yang dimaksud sang presiden dan istilah-istilah kenegaraan lainnya. Di sinilah, ujar Dr Adil Abdullah, ustaz di sekolah para dai di Kementerian Wakaf Mesir, perlunya peran masjid. Apalagi, orang datang ke masjid atas kemauan sendiri dan tanpa diundang.

Menurutnya, fungsi masjid bukan hanya untuk beribadah dalam pengertian sempit. Masjid, katanya, sejak zaman Rasulullah Muhammad digunakan untuk segala keperluan. Dari ibadah, sosial, politik, pendidikan, hingga membicarakan strategi perang, dan seterusnya. Di Mesir, persoalan muncul ketika masjid benar-benar menjadi mimbar politik pascarevolusi rakyat yang berhasil menggulingkan rezim Husni Mubarak.

Kelompok-kelompok beragama, seperti Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan Jamaah Islamiyah, saling berebut pengaruh atas masjid-masjid tertentu. Ini berbeda dengan zaman Rasululullah, para sahabat, dan kekhalifahan Islam di mana seluruh umat Islam di bawah satu komando. Akibatnya, sering kali muncul perang kata-kata di antara kelompok-kelompok Islam sendiri. Bahkan, juga saling mencemooh. Apalagi, di luar kelompok-kelompok tadi masih ada kelompok lain seperti ulama Al-Azhar dan lainnya.

Pertanyaan berikutnya, bukankah masjid adalah milik seluruh umat Islam? Dan, dengan demikian, setiap Muslim, apa pun kelompoknya, berhak masuk masjid dan beribadah? Lalu, mengapa mimbar masjid harus dikuasai oleh kelompok dan kepentingan tertentu? Jawabannya terpulang kepada tuan-tuan. n

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement