REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Dalam beberapa kali kesempatan berhaji atau berumrah, saya sangat tertarik memperhatikan perilaku jamaah haji selama berada di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Ada yang rela berdesak-desakan hanya untuk mencium Hajar Aswad. Bahkan, ada yang sampai tergencet oleh antrean.
Saking antusiasnya jamaah untuk mengecup batu hitam di pojok Ka'bah itu, malah ada yang tertarik memakai jasa joki. Joki yang biasanya terdiri dari tiga hingga empat orang ini kemudian membantu si pemakai jasa untuk mencium Hajar Aswad.
Entah berhasil atau tidak mencium Hajar Aswad, yang jelas jamaah kemudian menjadi korban pemerasan. Sang joki memaksa meminta imbalan uang kepada jamaah. Joki-joki ini tentu saja liar dan menipu, namun sulit diberantas oleh petugas.
Selain memaksakan mencium Hajar Aswad, ada pula jamaah yang menangis meraung-raung sambil tangannya menempel di dinding Ka'bah atau dinding Maqam Ibrahim. Setelah itu tangan mereka diusapkan ke wajah.
Bahkan, ketika Ka'bah sedang dicuci, saya pernah menyaksikan jamaah haji yang mengejar tangga berjalan setelah digunakan membersihkan Rumah Allah itu. Mereka kemudian menempelkan kedua tangannya ke tangga yang terbuat dari kayu itu, lalu mengusapkan kedua tangannya ke wajah atau ke bagian tubuhnya yang lain. Ada juga yang memaksa meminta air di ember bekas untuk membilas Ka'bah. Yang aneh, perbuatan mereka--mengejar tangga dan minta air bekas--kemudian diikuti jamaah lain. Mungkin, mereka berharap ngalap (mendapatkan) berkah.
Begitu pula di Masjid Nabawi. Tidak sedikit jamaah yang tak sekadar ziarah di Makam Rasulullah SAW dan shalat di Raudloh--antara mimbar dan makam beliau. Namun, banyak pula yang mengusap atau mencium mimbar Rasulullah SAW.
Saya tentu saja memaklumi aneka perbuatan jamaah haji di atas. Bukan hanya yang telah saya sebutkan tadi, tapi juga perbuatan-perbuatan aneh lainnya yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. Bangunan Maqam Nabi Ibrahim, misalnya, adalah buatan manusia. Bahkan bangunan yang menyerupai kandang burung itu, konon, made in Cina. Sedangkan, bangunan Maqam Ibrahim sebelumnya, yang buatan Turki, kini diparkir di museum di pinggiran Makkah. Begitu juga dengan mimbar Rasulullah, apalagi tangga berjalan untuk mencuci Ka'bah.
Sedangkan, yang disunahkan ketika berada di Masjidil Haram adalah mengelilingi Ka'bah/thawaf, melambaikan tangan ketika melewati garis lurus yang sejajar dengan Hajar Awsad sambil mengucap "Bismillah Allahu Akbar…'', juga shalat dan berdoa di (belakang) Maqam Ibrahim dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Sedangkan, yang dianjurkan ketika di Madinah adalah ziarah Makam Rasulullah SAW, shalat sunah, dan berdoa di Raudloh yang disebut Rasulullah sebagai tempat mustajab. Kata beliau, ''Antara rumah (yang kini menjadi makam Rasulullah) dan mimbarku adalah Raudlah dari taman-taman surga, dan mimbarku berada di telagaku.''
Saya memaklumi perbuatan jamaah haji yang "berbau syirik" tersebut lantaran ketidaktahuan dan sebagai bentuk kerinduan mendalam pada Makkah dan Madinah. Kerinduan pada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Berhaji adalah kewajiban sekali seumur hidup bagi yang mampu. Banyak umat Islam yang selama bertahun-tahun dan bahkan puluhan tahun bekerja untuk mengumpulkan biaya haji. Ada yang berhasil bisa menunaikan kewajiban haji, namun tak sedikit pula yang keinginannya belum atau tak tercapai.
Yang jelas, ibadah haji selain kewajiban sekali seumur hidup seorang Muslim juga menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Aneka perbuatan para jamaah haji selama di Makkah dan Madinah merupakan gambaran dari kualitas umat Islam secara keseluruhan.
Tujuan haji hanya satu, yaitu memperoleh haji mabrur. Sabda Rasulullah, ''Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.'' Ciri-ciri haji mabrur justru akan tampak ketika jamaah selesai menunaikan ibadah haji. Yaitu, apakah kualitas keimanan dan keislaman seseorang meningkat atau malah menurun. Kualitas yang bisa diketahui dari ibadah ritual, amal saleh, serta perilaku sehari-hari. Pendek kata, seseorang yang memperoleh haji mabrur adalah orang yang hidupnya lebih bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, tetangga, sahabat, dan teman-temannya. Bermanfaat untuk kantornya atau tempat kerjanya. Bermanfaat untuk agama dan bangsanya.
Dengan demikian, setiap jamaah--yang ibadah hajinya mabrur--semestinya menjadi agen-agen perubahan positif di masyarakat. Bayangkan, bila jumlah jamaah haji Indonesia setiap tahun sekitar 220 ribu orang, lalu berapa setelah 10 tahun dan seterusnya? Bila sekembali ke Indonesia mereka kemudian membawa perubahan yang lebih baik pada lingkungan masyarakat masing-masing, Indonesia tentu akan lebih baik.
Bila ternyata Indonesia tidak lebih baik, bisa jadi yang diperoleh orang-orang yang sudah berhaji bukan haji mabrur, tapi 'haji mabur'. Memang, perbedaan kata mabrur dengan mabur sangat tipis, namun perbedaan itu jadi nyata dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Selamat melaksanakan ibadah haji, selamat Idul Adha, dan marilah berkurban!