REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Bila Anda rakyat pada umumnya, daftarkan diri Anda untuk melaksanakan ibadah haji sebelum berusia 50 tahun.
Karena, daftar tunggu (waiting list) haji di beberapa daerah kini sudah ada yang mencapai lebih dari 10 tahun. Di Jawa Timur, misalnya, daftar tunggu haji hingga 9-10 tahun. Begitu juga di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Bahkan, di beberapa daerah di Kalimantan Selatan daftar tunggu haji bisa 13 tahun. Dengan kata lain, kalau Anda daftar sekarang, ketika berusia 50 tahun, maka Anda baru akan bisa melaksanakan ibadah haji pada usia 60 tahun atau lebih.
Usia 60-70 tahun semoga Anda masih sehat. Karena, ibadah haji memerlukan kesehatan yang prima. Tawaf dengan berjalan mengelilingi Kabah tujuh kali. Sai dengan lari-lari kecil atau berjalan dari Shafa ke Marwa dan sebaliknya sebanyak tujuh kali.
Kemudian, melempar jumrah dengan berjalan kaki dari perkemahan di Mina dan seterusnya. Semuanya mem- butuhkan tenaga yang prima.
Ini belum termasuk shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang jaraknya dengan penginapan jamaah bisa mencapai 2,5 kilometer.
Dengan kondisi demikian tentu akan lebih baik bila Anda bisa melaksanakan ibadah haji ketika berusia muda. Ini kalau Anda rakyat biasa atau orang kebanyakan. Tentu berbeda kalau Anda pejabat tinggi negara, termasuk anggota DPR. Untuk golongan ini, ibadah haji bisa kapan saja.
Atau, kalau Anda orang berpunya, bisa juga melaksanakan ibadah haji melalui jalan pintas dengan mendaftar ke biro perjalanan haji dan umrah. Daftar tunggu melalui biro perjalanan haji ini lumayan pendek, sekitar 1-4 tahun.
Tentu Anda akan membayar lebih besar untuk berhaji melalui biro perjalanan ini. Tapi, jangan salah pilih biro, bisa-bisa Anda tertipu.
Dalam beberapa tahun ini, peminat untuk melaksanakan ibadah haji memang meningkat tajam. Bukan hanya umat Islam Indonesia, tapi juga negara-negara lain. Sayangnya, waktu dan lokasi pelaksanaan haji sangat terbatas. Termasuk, kapasitas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena itu, sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)--kini ber nama Organiasi Kerja Sama Islam--di Amma, Yordania, pada 1987 kemudian memutuskan bahwa jumlah jamaah haji dari suatu negara adalah 1/1.000.
Artinya, satu calon jamaah haji dari 1.000 pendu duk Muslim. Kalau jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam 220 juta maka Indonesia mendapatkan kuota setiap tahunnya 220 ribu jamaah.
Sejak 1987 itu, jumlah jamaah haji terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk Muslim di dunia. Tahun ini, jamaah haji dari seluruh dunia--189 negara--sekitar tiga juta. Jumlah yang tidak mungkin ditambah karena keterbatasan tempat pelaksanaan haji.
Atau, kalau masih bisa diperluas--hal inilah yang kini dilakukan Pemerintah Arab Saudi--paling banyak bisa menampung 3,5 juta jamaah. Bila dipaksakan ditambah, dikhawatirkan akan terjadi musibah, seperti yang pernah terjadi beberapa kali sebelumnya, menyebabkan ratusan korban meninggal dunia.
Untuk menyediakan berbagai fasilitas tiga juta jamaah haji selama berada di Makkah dan Madinah tentu tidak mudah. Misalnya, yang menyangkut transportasi, penginapan, logistik/makanan-minuman, dan lain-lain. Apalagi, penginapan dan transportasi hanya dipakai pada musim haji.
Selain mengurus hal-hal tadi, Pemerintah Arab Saudi juga terus memperluas fasilitas tempat-tempat ibadah, misalnya di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, lokasi Jamarat, dan sebagainya. Pun sedang dibangun monorel di Makkah serta Arafah dan Mina.
Namun, sekali lagi, perluasan yang bisa dilakukan sangat terbatas. Tempat tawaf di sekitar Kabah misalnya, tampak sulit untuk bisa diperluas lagi. Karena itu, jumlah jamaah haji memang harus dibatasi.
Namun, saya khawatir dengan daftar tunggu haji yang semakin panjang. Sebab, akan semakin banyak umat Islam yang hingga meninggal dunia tidak kesampaian melaksanakan rukun Islam yang kelima itu. Karena itu, para ulama dan pemimpin negara-negara Islam harus segera berijtihad menemukan solusi.
Apalagi, kuota haji yang berlaku sekarang diputuskan oleh OKI sekitar 25 tahun lalu.