REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Sekitar 90 prajurit TNI mendatangi kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan. Hasilnya, terbakar. Mari kita highlight pernyataan para petinggi TNI dan Polri soal ini. Kapuspen TNI Laksda Iskandar Sitompul menyayangkan kejadian tersebut. Dia menyatakan, “Kita tidak akan menyerang jika tidak ada penyebabnya.”
KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengaku “sangat terkejut” dan ia memerintahkan Pangdam melakukan investigasi. “Prajurit yang terlibat akan dikenai sanksi. Penyerangan tak akan terjadi tanpa ada yang memulainya.” Menko Polhukam Djoko Suyanto sangat menyesalkan kejadian itu dan menilainya sebagai tindakan yang tidak betul.
Ia meminta untuk diusut dan menindak pelakunya. “Kantor itu kan kantor negara, kantor pemerintah.” Kapolri Jenderal Timur Pradopo meminta Panglima TNI untuk memeriksa bawahannya. “Ini kantor Polri, simbol negara.” Jika ada yang melanggar hukum harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Dari pernyataan-pernyataan itu, sangat jelas tak ada kecaman, walaupun Djoko Suyanto terlihat lebih tegas.
Reaksinya sangat berbeda jika tindakan brutal dilakukan kelompok masyarakat sipil. Mereka bisa berasal dari ormas, parpol, pendukung bupati/walikota, dan seterusnya. Kita bisa keras pada orang yang lemah dan tak berdaya pada orang yang kuat. Ambiguitas semacam ini sering terjadi. Bahkan, dalam situasi tertentu tak hanya ambigu, tapi juga mengacaukan.
Misalnya, imbauan untuk tak perlu saling menyalahkan jika ada konflik. Yang penting diredam, damai, dan ke depan tak boleh ribut lagi. Semuanya menjadi tak jelas. Seperti menyembunyikan sampah di bawah karpet. Terlihat bersih di permukaan, tapi sejatinya kotor. Padahal, ketepatan menempatkan suatu peristiwa ke dalam bingkai sejarah akan menentukan nilai apa yang bisa kita petik.
Hal itu selanjutnya akan menentukan kualitas kita, siapa kita. 'Tarung' Polri dan TNI di OKU makin membuktikan kita tak cukup memiliki pijakan nilai. Pertemuan-pertemuan di level pimpinan tak dibaca secara benar oleh anak buah di lapangan. Keributan antara Wijaya dari Polri dan Heru dari TNI yang berujung pada kematian Heru juga menimbulkan pembakaran kantor Polres.
Kita tak bisa mengatakan kejadian ini hanya soal Wijaya dan Heru, tapi juga institusinya. Di dalamnya ada sistem nilai, kepemimpinan, dan organisasi. Banyak yang menilai, polisi makin arogan di masa reformasi ini. Pada sisi lain, tentara makin menyusut dan inferior setelah merajalela di masa Orde Baru. Ada kata-kata bijak, keberlimpahan harta dan takhta bisa membuat kita menjadi jahat.
Indonesia adalah negeri yang kaya. Di dalam tanah ada minyak, gas, batu bara, dan sebagainya. Di atas tanah ada hutan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Jumlah penduduk yang besar pun merupakan keuntungan tersendiri. Seperti kata-kata bijak itu, keberlimpahan membuat kita menjadi jahat. Karena itu, terjadi ironi. Ada 90 juta penduduk Indonesia yang miskin.
Orang-orang yang diserahi amanat untuk mengurus negeri ini telah menjadi lintah bagi rakyatnya sendiri. Mereka korup. Mereka menjadi komprador investor asing. Mereka menjadi predator. Jika di masa lalu pemimpin kita ribut memperdebatkan gagasan, kini mereka ribut memperebutkan duit.
Jika di masa lalu para pemimpin itu memegang prinsip menjadi pemimpin itu menderita, kini mereka mengukuhkan bahwa menjadi pemimpin itu menikmati. Kita mengenal plesetan “ketua untung duluan (KUD)” atau “ujung-ujungnya duit (UUD)”. Itulah realitas para pemimpin kita saat ini. Mereka bukan pemimpin, tapi penguasa.
Bedanya sederhana. Pemimpin itu mendahulukan kepentingan umum daripada diri dan keluarganya. Jika kita melihat ada orang teriak rakyat, tapi keluarganya berjejer jadi pejabat maka kita sudah bisa menilai, dia bukan pemimpin. Pemimpin itu mendahulukan keteladanan daripada imbauan dan wacana. Ia akan bertindak di depan, memberi contoh. Bukan berteriak dan memproduksi kata-kata.
Jika kita menemukan orang yang seperti itu, kita bisa pastikan dia bukan pemimpin. Pemimpin itu mendahulukan moral dan nilai-nilai daripada kewenangan. Ia akan mempersuasi bukan menangkap, menakut-nakuti, mengancam. Ia tak bicara aturan dan hukum, tapi bicara kesukarelaan. Partisipasi, bukan pengabdian dan kepatuhan sahaya. Saat ini, kita hanya mempunyai penguasa, bukan pemimpin.