REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Kondisi Mesir setahun pemerintahan Presiden Muhammad Mursi tampaknya belum akan stabil. Rakyat di Negeri Seribu Menara itu terus bergolak.
Hampir setiap hari terjadi konfrontasi antara para penentang dan pendukung Mursi, baik melalui pengerahan massa maupun lewat media, terutama media sosial. Budaya ramah dan saling tegur sapa yang menjadi ciri khas bangsa Mesir telah berganti dengan caci maki dan bahasa kekerasan.
Adu kekuatan massa yang diperkirakan paling besar dalam setahun ini akan berlangsung dalam beberapa hari ini. Puncaknya, pada 30 Juni nanti, tepat setahun pelantikan Mursi menjadi presiden. Sejumlah kelompok oposisi yang menamakan diri Front Penyelamat Nasional siap menggelar unjuk rasa besar-besaran pada hari itu. Tuntutan mereka tidak main-main: Mursi harus turun dari jabatannya sebagai presiden dan pemilihan ulang penggantinya.
Mereka tampaknya tidak sabar menempuh jalan demokrasi dengan menunggu sang presiden menyelesaikan masa jabatannya yang empat tahun, yang berarti masih tiga tahun lagi dari sekarang. Seperti yang juga berlangsung di Turki, berbagai kelompok oposisi dari kaum sekuler-liberal ini terus mengalami kekalahan di bilik-bilik pemungutan suara pesta demokrasi. Mulai dari pemilihan anggota parlemen (DPR) yang kemudian dibubarkan pemerintahan militer sebelum Presiden Mursi, lalu pemilu Majelis Syuro (MPR), hingga pemilihan presiden, dan referendum amandemen konstitusi yang baru.
Kelompok-kelompok oposisi Mesir yang tergabung dalam Front Penyelamat Nasional itu terdiri atas Partai Konferensi Mesir (Hizbu Al Muktamar Al Misry) pimpinan Amr Musa, Partai Konstitusi (Dustur) dikomandani Mohammad El Baradai, Partai Sosialis dipimpin Hamdeen Sabbahi, dan Partai Wafd (liberal) diketuai Al Sayid Al Badawi.
Partai Amr Musa berideologi sekuler, Partai El Baradai berhaluan sekuler-liberal, Partai Al Sayid Al Badawi berideologi liberal, dan Partai Hamdeen Sabbahi berhaluan sosialis (komunis). Selain itu, bergabung pula dalam kelompok oposisi ini para pengikut rezim Husni Mubarak yang disebut sebagai fulul, yang diwakili oleh mantan calon presiden Ahmad Syafik. Yang terakhir ini juga merupakan perdana menteri terakhir mantan presiden Husni Mubarak.
Sedangkan, pendukung Presiden Mursi terdiri atas kelompok Ikhwanul Muslimin dengan sayap politiknya Partai Kebebasan dan Keadilan, Jamaah Islamiyah, dengan partai politiknya Partai Pembangunan dan Pertumbuhan, kelompok salafi dengan partainya An Nur, Partai Royah, dan ormas-ormas Islam lainnya. Mereka inilah yang sejak awal mendukung Muhammad Mursi, presiden yang berasal dari Ikhwanul Muslimin.
Sejak Mursi dilantik menjadi presiden setahun lalu, ketidakharmonisan antara pendukung dan lawan politiknya sudah mulai tampak. Ketidakharmonisan kemudian selalu menjadi gangguan atas jalannya pemerintahan Mursi. Mereka hampir selalu menolak yang dilakukan Mursi, dari penunjukan menteri, pengangkatan gubernur, penanganan masalah ekonomi, hingga penentuan anggota majelis untuk mengamandemen konstitusi negara. Intinya, kelompok oposisi menuduh sang presiden ingin mengislamkan Mesir alias menjadikan Negara Firaun itu sebagai negara Islam. Bahkan, mereka menuduh Mursi ingin menjadikan Mesir sebagai negara Ikhwanul Muslimin (akhunatu misro).
Barangkali kalau ketidaksetujuan kelompok oposisi ini disampaikan lewat media atau unjuk rasa damai, tentu sesuatu yang baik dan menjadi ciri dari negara demokrasi. Namun, yang sering terjadi adalah penolakan atas kebijakan sang presiden dilakukan dengan cara-cara anarkis: memblokade jalan, menyerang aparat negara, memprovokasi massa/menyebarkan kebencian, dan seterusnya. Akibatnya, roda pemerintahan menjadi terganggu dan program-program yang dijanjikan Mursi saat kampanye susah dilaksanakan.
Bahkan, kelompok oposisi kini juga mengklaim sudah mendapatkan lebih dari sejuta tanda-tangan warga yang menuntut agar Presiden Mursi lengser. Tuntutan itu akan dilaksanakan bersamaan dengan unjuk rasa besar-besaran pada 30 Juni mendatang. Setelah Mursi berhasil dilengserkan, menurut Nuha Kamal, juru bicara kelompok oposisi, jabatan presiden secara simbolik akan diserahkan kepada ketua Mahkamah Tinggi Konstitusi, sedangkan pelaksana hariannya akan dipegang oleh tim kecil yang terdiri atas perwakilan partai-partai oposisi.
Tim kecil akan melaksanakan pemerintahan transisi yang bertugas mengembalikan keamanan, mengamandemen konstitusi dan undang-undang pemilu, serta melaksanakan pemilihan presiden dalam waktu paling lama enam bulan.
Menghadapi rencana demonstrasi besar-besaran oposisi, kelompok pendukung sang presiden yang dimotori Ikhwanul Muslimin tentu tidak tinggal diam. Pada Jumat dua hari lalu, ratusan ribu pendukung Mursi dari berbagai wilayah di Mesir turun ke jalan menuju Maidan (lapangan) Rabi’ah Al ‘Adawiyah di Distrik Madinah Nasr, timur Kairo. Mereka mengusung tema “Tidak untuk Anarkis. Ya, untuk Kedamaian (La lil ‘unfi. Na’am lis syar’iyah)”.
Mereka, antara lain, juga meneriakkan “Islam adalah solusi”, “Membela Mursi berarti Membela Demokrasi”, dan “Kami Rela Mati untuk Membela Islam, Mursi, dan Demokrasi”. Menurut Ala’ Abu Nasr, Ketua Umum Partai Pembangunan dan Pertumbuhan, para pendukung Mursi siap turun ke jalan kapan saja diperlukan untuk menghadapi kaum sekuler yang ingin menjatuhkan Presiden Mursi.
Menurut Saiful Islam Hasan Al Bana, pengacara dan sekaligus putra pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Bana, Presiden Mursi telah bekerja keras di tengah kondisi sulit. Ia harus menghadapi lawan-lawan politiknya yang menolak pemerintahan Islam. Setiap Presiden Mursi mengambil suatu kebijakan atau bahkan mengangkat seorang pejabat, katanya sebagaimana dikutip media Al Sharq Al Awsat, selalu ada kelompok yang mendemonya.
Ia pun mempertanyakan kepada kelompok liberal-sekuler, apakah yang disebut demokrasi adalah menjatuhkan presiden yang dipilih secara demokratis? Yang terjadi di Mesir sekarang ini, ia melanjutkan, ada pihak-pihak luar negeri yang bekerja sama dengan pihak dalam negeri untuk menjatuhkan Presiden Mursi. Mereka takut adanya pemerintahan Islam yang kuat yang dipilih secara demokratis. Yang mereka incar adalah kekuasaan tidak demokratis. Karena, melalui demokrasi mereka selalu kalah.