REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Sonia Gandhi adalah ketua umum India National Congress (INC). Partai ini didirikan Jawaharlal Nehru, kakek Rajiv Gandhi. INC mirip PDIP yang lekat dengan keluarga pendirinya. Rajiv, suami Sonia dibunuh, seperti halnya Indira, ibu Rajiv. India menganut sistem jika partainya menang pemilu parlemen maka ketua umumnya menjadi perdana menteri. Namun tidak untuk Sonia. Wanita asal Italia ini dipersoalkan publik soal asal-usulnya. Dia bukan orang India asli. Secara kebetulan, sejak 1989 Bharatiya Janata Party (BJP) menguat di parlemen. Partai yang mengusung paham sempit ini bahkan memimpin aliansi pemerintahan sejak1998. Namun pada 2004 INC mengungguli BJP lagi dan memimpin aliansi pemerintahan. Apa daya, Sonia disoal untuk menjadi perdana menteri. Akhirnya, Manmohan Singh yang menduduki posisi itu. Dia adalah orang Sikh pertama dari partai ini yang menjadi pemimpin pemerintahan.
Shashi Tharoor, seorang penulis produktif dan juga novelis, secara satiris mengungkap ironi penolakan ini. Sonia memang tak menjadi perdana menteri, tapi Singh juga bukan dari figur etnik yang secara tradisional selalu menjadi perdana menteri India. Bahkan presidennya pun muslim, Abdul Kalam. Di periode ini pula menteri keuangan dijabat oleh orang yang dicurigai membawa misi Kristen. Sonia hendak meruntuhkan paham sempit dengan cara seperti itu. Konfigurasi pemerintahan yang menarik. Bahkan Singh dua kali berturut-turut terpilih sebagai perdana menteri secara mulus, hanya pernah terjadi di masa Nehru. Di masa Singh pula India melakukan lompatan besar di bidang ekonomi. India melaju cepat.
Saat ini, kita menyaksikan Megawati mengalah pada tuntutan publik. Sebagai ketua umum partai, bahkan sebagai figur simbolik di PDIP, Megawati justru mengajukan Jokowi untuk menjadi capres partai banteng tersebut. Seperti juga Sonia, Megawati pun ditolak publik. Namun penolakan ini berbeda dengan yang terjadi pada Sonia. Megawati tak ditolak oleh visi sempit tapi ia tak cukup populer dan elektabel untuk maju dalam kontestasi presiden nanti. Ada perhitungan, jika Megawati tetap maju maka ia akan kalah, terutama oleh Prabowo Subianto.
Ada rumor yang cukup kuat bahwa awalnya Megawati tetap ingin maju menjadi capres. Ini karena ada kekhawatiran bahwa jika capresnya bukan dari klan Sukarno maka akan sulit bagi keluarga Sukarno untuk tetap menguasai PDIP, terutama jika capres itu menang. Ini semacam hukum besi politik. Siapa yang menang maka dia yang berkuasa. Namun apa yang terjadi di Singapura hal itu tak terjadi. Lee Kuan Yew tak menyerahkan tongkat estafet kekuasaan secara langsung ke putranya, Lee Hsien Loong. Saat itu, Hsien Loong masih terlalu muda. Karena itu tongkat kekuasaan diberikan ke Goh Chok Tong. Sedangkan Lee menjadi menteri senior dan putranya menjadi menteri. Dengan demikian, kekuasaan tetap dalam radar kendali Lee. Setelah Hsien Loong cukup matang, maka tongkat estafet itu pun diberikan kepadanya.
Apakah gabungan skenario Sonia dan Lee yang akan diterapkan Megawati? Ia bisa saja akan menempatkan Puan Maharani untuk belajar dengan menjadi menteri, dan Megawati tetap mengendalikan PDIP seperti Sonia mengendalikan INC. Satu sisi, tampaknya soalnya tak sesederhana itu. Di sisi lain, kita tak boleh under estimate terhadap Megawati.
Untuk hal pertama, kita melihat ada dua fakta problematik. Pertama, dasar penolakan terhadap Sonia berbeda dengan dasar penolakan terhadap Megawati. Sistem politiknya pun berbeda. Tak ada keraguan ihwal kemampuan Sonia. Hal sebaliknya justru menimpa Megawati. Selain itu, sistem pemerintahan di India menganut parlementer sehingga pemenang pemilu parlemen otomatis menjadi perdana menteri. Sedangkan di Indonesia menganut sistem presidensial. Pemilihan anggota parlemen dan presiden dilakukan sendiri-sendiri. Hal kedua, pengaruh Megawati tak sebanding dengan pengaruh Lee dalam menyedot dukungan publik terhadap dirinya. Lee adalah Bapak Bangsa yang sukses hingga turun dari jabatan perdana menteri.
Kalkulasi-kalkulasi politik ini seolah mengabaikan sisi karakter dan visi Megawati. Dalam sebuah wawancana televisi, ia meneteskan air mata ketika ditanya misi besarnya. Mega menjawab untuk Indonesia Raya. Kita berharap itulah tujuan dari semuanya. Saat ini kita kehilangan kepercayaan yang luar biasa terhadap politisi. Mereka benar-benar mempraktikkan pepatah memang lidah tak bertulang. Politisi identik dengan pembohong besar. Mereka tak lagi memiliki hati nurani. Bahkan rela menjual imannya. Kita dikejutkan oleh beredarnya foto kelakuan caleg berjilbab yang bersemedi dan berendam di sungai. Jika iman saja dipertukarkan, apatah lagi hati nurani dan amanat rakyat. Semuanya bisa dipertukarkan dengan materi dan jabatan.
Kita berharap Megawati memang benar-benar tak memiliki motif semata untuk keberlanjutan politik dinasti. Berikan kepercayaan penuh kepada Jokowi untuk bekerja dengan baik. Jangan ada intervensi untuk tujuan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika hal demikian yang terjadi, berarti Megawati telah membuat keputusan besar. Kita juga belum tahu apakah Jokowi akan memenangkan pilpres nanti atau tidak. Hingga kini ia memiliki dukungan yang tinggi, jauh meninggalkan lawan-lawannya.
Dalam bukunya yang sangat laris, Abdul Kalam bertanya, “Apa yang dapat saya berikan pada bangsa ini?” Ia menjawab “kemuliaan dan kehormatan” di mata dunia. Juga “senyum” di wajah rakyatnya. “Ini hanya bisa digapai melalui pembangunan ekonomi dan pendidikan,” kata mantan presiden India yang cendekia tersebut. Kita butuh manusia terhormat dan mulia seperti Kalam untuk menjadi rujukan bagi bangsa Indonesia.