Jumat 04 Jul 2014 06:00 WIB

Awan Hitam di Langit Pers Indonesia

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Pekan ini saya mendapat hadiah sebuah buku yang pas dengan situasi saat ini. Judulnya The Return of the Public. Sebuah buku edisi tahun 2010 karya Dan Hind, seorang publisher asal Inggris yang beralih menjadi penulis. Buku itu dibuka dengan sebuah kutipan yang sangat kuat dari Alexis de Tocqueville: Dalam demokrasi opini publik adalah yang berdaulat. De Tocqueville adalah seorang cendekiawan Prancis yang melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, setelah 55 tahun negeri ini menjadi negara merdeka. Judul bukunya Demokrasi di Amerika.

Kebebasan adalah jiwa demokrasi, dan opini publik merupakan jantungnya. Dengan demikian, kemampuan memengaruhi pendapat umum merupakan jalan menuju kemenangan dalam praktik berdemokrasi. Di sinilah pentingnya pers. Karena itu pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi, secara tak resmi. Ini karena tiga pilar sebelumnya dinilai tak bisa dibiarkan begitu saja. Tiga pilar itu perlu dikontrol oleh satu pilar lagi, pers. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif dianggap menjadi kekuatan tersendiri yang terasing dari masyarakatnya, maka diperlukan pilar keempat yang mewakili suara publik, yaitu pers. Namun Dan Hind berpendapat saat ini ada keharusan mereformasi pers agar tetap mewakili publik. Pers dianggap telah terjatuh ke dalam pandangan politiknya sendiri dan terkungkung kepentingan bisnisnya. Pers dinilai telah meninggalkan publik, mengalami keterasingan.

Namun reformasi media membutuhkan waktu tersendiri. Kasus Wikileaks yang mencuatkan Julian Assange telah melahirkan pilar kelima. Kehadiran internet membuat publik mencari jalannya sendiri, bukan melalui pers. Sudah ada yang mentasbihkan Assange sebagai pelopor pilar kelima demokrasi. Pers tak sanggup membongkar petualangan kekuatan adi daya di pelosok dunia. Pers terjebak pada rutinitas. Kadang hanya menjadi corong, sering terjebak dalam jurnalisme got. Pers hanya menjadi tempat mengalirnya beragam jenis air.

Saat ini publik mengeluhkan sikap pers, yang diwakili oleh sejumlah media penting, untuk menjadi corong dua kandidat capres. Sebagian melakukannya secara 'resmi', sebagian melakukannya secara 'tidak resmi'. Yang satu melakukannya secara terang-terangan, yang satu melakukannya secara malu-malu. Puncak keprihatinan dunia pers adalah hadirnya tabloid Obor Rakyat. Walau disebut bukan produk jurnalistik, tapi ia melibatkan para jurnalis. Isu ini pada kadar tertentu mampu menutup keprihatinan publik pada media mainstream yang seolah sedang menjadi ksatria ronin. Mereka bersembunyi di balik doktrin independensi dan kebolehan untuk memihak. Atau bisa dirumuskan dalam satu frasa “boleh memihak asal independen”. Jika lebih jauh lagi, yang penting cover both side.

Independen artinya tidak menjadi subordinat, secara kelembagaan ataupun personal, salah satu kandidat. Namun keterlibatan politik para pemilik maupun akibat pandangan politik membuat warna jurnalistik menjadi terbaca publik. Karena itu syarat independen saja menjadi tak mencukupi. Pada titik inilah moral jurnalistik mensyaratkan hadirnya fairness, berlaku adil. Sesuatu yang tak mudah. Ini karena tak kasat mata. Para awak media tak bisa lagi bersembunyi di balik kata-kata. Hanya kejujuran pada diri sendiri dan perasaan umum yang bisa mengontrolnya.

Tak ada definisi baku tentang fairness. Namun kata ini sering dipasangkan dengan kata objektif, kadang dijejerkan dengan kata berimbang, kadang dipadukan dengan kata jujur. Objektif berarti netral, tak mengkarakterisasi seseorang atau institusi, tak memasukkan perasaan, tak ada bias, dan tak ada prasangka. Intinya, seorang jurnalis harus menguji motif pribadinya agar perasaan dirinya tak memengaruhi karyanya. Karena itu fairness juga diartikan sebagai kemampuan menggali dan meletakkan semua sisi dalam suatu cerita yang seakurat mungkin. Diksi, bahasa, dan nada tulisan atau angle kamera demikian penting. Karena sejatinya, pers adalah menyampaikan informasi, bukan memanipulasi informasi. Pers harus bekerja mewakili publik, bukan memanipulasi publik untuk tujuan dirinya. Seorang wartawan tak hanya mempertimbangkan ihwal prosedur dan teknik, tapi juga imajinasinya.

Ihwal keberpihakan, khusus untuk media televisi dan radio, sebetulnya ada aturan yang lebih jelas. Ini karena dua jenis media ini menggunakan saluran publik. Sesuai undang-undang, radio dan televisi tidak boleh memihak, kendatipun independen. Hal ini tercantum jelas pada Pasal 36 (4) yang memuat soal “wajib dijaga netralitasnya” dan “tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Karena itu Komisi Penyiaran Indonesia mengancam untuk mencabut izin penyiaran dua stasiun televisi.

Hal yang lebih mendasar lagi adalah meneliti ulang ihwal kebolehan memihak. Kita bertanya pada batas apa atau persyaratan apa kata memihak itu dibolehkan. Dalam jurnalistik, kepentingan publik adalah 'berhala' yang utama. Kata kepentingan di sini tak merujuk pada power play, perburuan kekuasaan. Seperti kata Tom Rosentiel dan Bill Kovach, dari sembilan elemen jurnalisme, ada beberapa poin yang relevan untuk isu ini: kewajiban pencarian kebenaran, loyalitas utama pada publik, dan proporsional. Saat ini, akibat pemihakan sejumlah media terhadap kandidat tertentu, sejumlah media cenderung membela yang dipihaki dan mencari kelemahan yang tak dipihaki. Tak ada lagi prinsip-prinsip yang digariskan Rosentiel dan Kovach. Yang ada adalah debat kusir, jurnalisme “pokoknya”. Suasana ini membuat awan hitam menggantung dalam jagat jurnalistik Indonesia saat ini. Kita terjebak pada pembelahan konyol: Anda bersama saya atau bersama pesaing saya.

Suasana pembelahan itu terasa di awal-awal masa kampanye pilpres. Reaksi keras dari publik dan juga peringatan keras dari komisi penyiaran telah membuat kekentalan pemihakan itu mulai lunak. Namun di bawah permukaan, kita tahu belaka bahwa pemihakan itu tetap berjalan. Bisa atas nama kekuasaan pemilik modal ataupun atas nama pandangan politik tertentu. Karena itu, peringatan Tocqueville sangat relevan: dalam sebuah demokrasi opini publik adalah yang berdaulat. Nah, ketika opini publik termanipulasikan akibat perilaku “culas” media massa, seperti diingatkan Dan Hind, maka demokrasi sedang terancam dan dalam bahaya.

Salah satu elemen penting dalam berdemokrasi adalah yakin (faithful) pada proses dan instrumen demokrasi. Tanpa keyakinan maka kita adalah para pecundang demokrasi belaka. Ketaksabaran terhadap proses hanya menempatkan kita pada perilaku fasis belaka. Fasisme atas nama jurnalistik. Kita harus kembali ke dalam nilai-nilai dan standar jurnalistik baku. Seutuhnya. Bukan sepotong-sepotong.

Kita berharap semua pihak berlaku jernih, terutama para pemimpinnya. Pilpres tahun 2014 ini akan banyak menyisakan luka. Jangan menambah luka dengan siraman bensin. Semua institusi terkait – Dewan Pers, KPI, dan asosiasi wartawan -- wajib bersikap agar hukum dan norma tetap tegak. Membungkam pers dengan cara anarkis patut kita cegah. Karena itu sama artinya dengan membunuh kedaulatan itu sendiri.

Saat ini kita sedang tak menghadapi musuh bersama. Kita sedang menikmati pesta demokrasi di era reformasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement