REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Jangan emosi! Sebuah nasihat yang sering kita dengar. Kelihatannya sederhana, padahal kebenaran nasihat tersebut bisa mahal harganya, bahkan sangat mahal. Berapa harga sebuah emosi? Jika menyaksikan Piala Dunia 2014, kita bisa menghitung betapa mahal harga sebuah emosi.
Ketika kesebelasan Portugal bertanding dengan Jerman pada putaran pertama, kesebelasan Portugal harus membayar harga emosi seorang Pepe. Karena emosi, Pepe menanduk lawan main. Akibatnya, ia mendapat kartu merah dan Portugal kalah habis-habisan.
Jerman membantai Portugal dengan skor 4- 0 dalam babak penyisihan Grup G Piala Dunia 2014 di Arena Fonte Nova, Salvador, Brasil, pada Senin, 16 Juni 2014. Padahal, sebelum Pepe dikeluarkan, timnas Portugal bukan sekadar meng imbangi, bahkan lebih menguasai permainan. Selanjutnya ketika menghadapi Amerika--tanpa Pepe--yang merupakan salah satu andalan, Portugal hanya bisa meraih hasil imbang. Itu pun didahului kemenangan timnas Amerika Serikat.
Keadaan ini semakin membuat posisi Portugal terjepit. Mereka harus menang setidaknya 5-0 atas Ghana karena telanjur kalah telak oleh Jerman. Sekalipun akhirnya memperoleh kemenangan 2-1 atas Ghana, timnas Portugal harus pulang. Semua bermula dari emosi seorang pemain yang melakukan tindakan yang sama sekali tidak perlu.
Latihan dan persiapan selama empat tahun dengan biaya miliaran menjadi buyar hanya karena satu orang tidak bisa mengendalikan diri. Emosi individu yang mengorbankan kerja keras rekan senegara dan ha rapan segenap bangsa. Uruguay juga harus membayar harga mahal untuk sebuah emosi. Luis Suarez yang awalnya menjadi andalan dan seharusnya membawa tim Uruguay lolos ke babak enam belas besar, justru membuat timnya terpuruk dalam babak lanjutan.
Karena tidak bisa menahan emosi dan menggigit lawan, pemain bintang tersebut tidak bisa lagi membela timnas Uruguay. Suarez mendapat hukuman larangan membela timnas Uruguay sembilan kali, tak boleh beraktivitas di sepak bola selama empat bulan, dan denda 66 ribu poundsterling (Rp 1,6 miliar).
Sanksi tersebut diberikan FIFA usai Suarez ter bukti menggigit bahu bek Italia, Giorgio Chiellini, pada laga pamungkas Piala Dunia Grup D, Rabu, 25 Juni 2014. Akibatnya, pemain berusia 27 tahun itu tak bisa membela La Celeste dan rekan senegaranya dikalahkan Kolombia 0-2 dalam babak 16 besar.
Senasib dengan Portugal. Karena Suarez tidak bisa mengendalikan emosi, latihan dan persiapan timnas Uruguay selama empat tahun dengan biaya miliaran buyar. Impian rakyat Uruguay untuk kembali mengangkat trofi Piala Dunia ikut sirna.
Para pencinta bola juga masih ingat bagai - mana Prancis akhirnya kalah dalam final oleh Ita lia karena pemain legendaris Zidane yang terpancing emosi menanduk Matterazi. Terlepas masyarakat dunia yang bisa memaafkan Zidane karena reputasinya, tapi ganjaran kartu merah membuat Prancis tidak bisa menurunkan penen- dang terbaik ketika adu penalti dan berakibat Prancis gagal meraih Piala Dunia pada 2006.
Beberapa kasus di atas hanya sebagian kecil contoh yang menunjukkan harga sebuah emosi. Mungkin di sekolah saat tawuran, emosi bisa membuat mata bengkak karena berkelahi atau mendapat hukuman atau skors. Di kalangan preman dan kriminal, emosi bisa berakibat fatal. Hanya karena tidak bisa memilih kata dalam mengumpat, nyawa bisa melayang. Lalu, bagaimana emosi dalam pilpres kita? Tidak mustahil kandidat yang terjebak dalam emosi akan berkurang pemilih, bahkan kehilangan peluang menjadi presiden Indonesia.
Jangan emosi! Pesan yang sudah sering kita dengar. Diucapkan seorang ibu kepada anaknya, suami terhadap istrinya, istri kepada suami, kakak kepada adik, atau antara teman sepergaulan, mungkin juga setiap pemimpin di dalam organisasi, atau kepada massa pendukungnya. Sebuah pesan yang seharusnya menjadi prinsip hidup sebab nilai yang harus dibayarkan sering kali teramat mahal.