Jumat 19 Sep 2014 06:00 WIB

Jokowi Butuh Menteri Petarung dan Pro-Pemerataan

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Seorang deputi di Tim Transisi berucap, “Paling tidak sepekan setelah pelantikan sebagai Presiden, Pak Jokowi akan mengumumkan kabinetnya.” Namun jika bisa cepat, maka pada hari pelantikan, Jokowi sudah bisa mengabarkan siapa yang menjadi menteri di pemerintahannya. Karena itu, saat ini Jokowi sedang menghimpun, menelisik, memilah, dan memilih mereka. Ada yang bilang, setidaknya ada 300 nama yang berhasil diinventarisasi oleh Jokowi dan timnya. Mereka akan menilai integritasnya, karakternya, harta kekayaannya, keluarganya, kemampuannya, dan akseptabilitasnya.

Jokowi sudah mengumumkan bakal ada 34 menteri. Dari jumlah itu, 18 dari nonparpol dan 16 dari parpol. Lalu diembeli bahwa mereka adalah orang-orang profesional. Selain itu juga ada satu wakil menteri, yaitu di kementerian luar negeri. Hingga kini masih belum jelas benar, apa saja nama kementeriannya. Dari nama itu setidaknya mulai terintip indikasi arah pemerintahannya. Setelah muncul nama akan makin jelas sosok pemerintahan Jokowi. Namun menjadi jelas benar setelah melihat kinerjanya.

Siapa saja mereka? Yang pasti adalah dari partai-partai pengusungnya: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI. Namun jumlah kursi mereka di parlemen 'hanya' 37 persen. Hal ini tentu tak aman untuk stabilitas politik. Karena oposisi justru menguasai 63 persen kursi di parlemen. Untuk itu, kini ada upaya untuk menarik sejumlah partai lagi untuk masuk kabinet. Yang didekati pertama adalah PPP dan PAN. Rupanya tak sederhana. Kubu yang ingin membawa PPP ke pemerintahan tak begitu mudah mengkonsolidasi kekuatan. Suryadharma Ali, ketua umum PPP, dan pendukungnya ingin kukuh di oposisi. Kini, mereka saling pecat. PAN relatif solid, namun mereka gagal membuat kesepakatan. Akhirnya mereka ke Demokrat. Namun partai ini ingin tetap elegan di depan publik. Mereka ingin tetap menjadi oposisi. Bahasa diplomasinya adalah sebagai penyeimbang – dan tak bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang beroposisi. Upaya menggaet Golkar pun tak mudah. Aburizal Bakrie masih terlalu kuat. Upaya menggantinya dalam Munas Luar Biasa gagal.

Upaya menambah kekuatan di parlemen merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Realitas politik demikian tak terduga. Walau presiden tak bisa dijatuhkan, namun kewenangan parlemen yang luas bisa sangat mengganggu kinerja pemerintah. Contoh nyata adalah upaya KMP untuk mengubah pilkada langsung menjadi pilkada lewat DPRD – walaupun wacana ini pernah menguat pada 2012, jauh sebelum ada KMP. Pemerintah sulit bekerja efektif jika para kepala daerah dikuasai KMP. Karena itu upaya menarik partai-partai di KMP menjadi kebutuhan mendesak, yakni menggagalkan perubahan cara pemilihan kepala daerah. Hadirnya dukungan Demokrat akan membuyarkan rencana tersebut. Pada sisi lain, KMP juga mulai menyiapkan pembentukan Pansus Pilpres yang lalu. Ini bukan hal sepele.

Realitas ini membuat transaksi politik dalam penyusunan kabinet menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Apakah dukungan Demokrat itu gratis? Dalam politik tak ada sesuatu yang berlalu begitu saja. Kita tunggu saja susunan kabinet dan personalia lembaga negara lain maupun pimpinan di BUMN.

Jokowi juga harus mempertimbangkan elemen-elemen yang selama ini sudah mendukungnya. Misalnya dari relawan, ormas, kelompok kepentingan, maupun kalangan pengusaha. Mereka tentu memiliki aspirasi siapa kandidat yang mereka usung untuk menjadi menteri. Karena itu kita bisa membayangkan betapa tak sederhana bagi Jokowi dalam menyusun kabinet.

Di tengah kesibukan menyusun kabinet, sebaiknya Jokowi fokus pada arah kebijakan pemerintahannya ke depan. Jokowi sudah menetapkan Nawa Cita yang menjadi programnya. Semuanya berporos dari doktrin Tri Sakti warisan Bung Karno. Sebuah program yang kini menjadi demikian revolusioner, karena kita sudah lama menjadi kompromistis dengan ekonomi pasar bebas. Sedangkan Tri Sakti justru berasal dari sisi seberangnya. Karena itu untuk mewujudkannya bukanlah perkara gampang. Di antara contoh konkretnya adalah mengubah ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Kita juga akan melihat bagaimana soal pengelolaan BUMN serta budgeting di kementerian keuangan. Kementerian perindustrian dan perdagangan akan berada di ujung pertempuran.

Jokowi membutuhkan menteri petarung dan dengan mindset yang berbeda dengan yang ada selama ini. Dua hal itu tak bisa dipoles. Keduanya melekat dalam di mentalitas dan cara berpikir. Mentalitas dibentuk sejak kecil hingga dewasa. Sedangkan cara berpikir digerakkan oleh keyakinan dan worldview, sudah menjadi ideologi. Jokowi tak sekadar membutuhkan menteri teknokrat yang menguasai detil dan berwawasan luas, Jokowi juga membutuhkan para pejuang yang nasionalistik dan prorakyat. Bukan pro asing dan pro pemodal besar. Mentalitas petarung dibutuhkan untuk menghadapi mafia, sedangkan mindset dibutuhkan agar tak ada lagi keraguan saat melangkah. Masalah kedaulatan dan pemerataan ekonomi butuh pemihakan, tak bisa ditransaksikan hanya sekadar oleh neraca keuangan dan kemanisme pasar. Inilah revolusi sejati yang dibutuhkan bangsa Indonesia.

Niccolo Machiavelli membuat bab tersendiri ihwal mengangkat menteri. Menurutnya, ada tige jenis orang. Pertama, orang yang mengerti dengan sendirinya. Kedua, orang yang menghargai apa yang dipahami oleh orang lain. Ketiga, orang yang tidak bisa mengerti dengan sendirinya namun juga tak menunjukkan tanda-tanda bisa memahami orang lain. “Yang termasuk kategori yang pertama adalah yang paling sempurna,” katanya, dalam bukunya yang terkenal, Il Principe. Buku yang berisi nasihat untuk para penguasa.

Kini, Jokowi sedang bertaruh. Bukan hanya bagi dirinya, tapi bagi negeri ini. Kita harus membantunya agar dia memilih orang yang tepat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement