Rabu 24 Sep 2014 10:38 WIB

Basis Karakter Kemajuan (2)

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Dalam Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1956, Bung Karno mengingatkan pentingnya bangsa memiliki kekuatan karakter yang dibangun atas dasar kedalaman penghayatan atas pandangan hidup bangsa.

”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali.”

“Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat—tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong melompong di bagian dalamnya."

“Bangsa yang berkarakter memiliki kepercayaan pada nilai-nilai kepribadian dan kemandirian bangsa sendiri. Dan kepercayaan ini sangat penting, karena menurutnya, ‘Sesuatu bangsa yang tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith cannot stand."

Beberapa puluh tahun kemudian, seorang intelektual Amerika Serikat, John Gardner, seperti mengamini pandangan Bung Karno. Beliau menyatakan, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi-dimensi moral yang dapat menopang peradaban besar.“ (Gardner, 1992).

Bagi bangsa Indonesia, dimensi moral sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Dalam pandangan Soekarno dikatakan, "... Kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme.

“Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.” (Soekarno, 1958).

Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus leitstar (bintang pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan.

Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dan kapitalisme predatoris.

Diperlukan puluhan tahun sejak Perang Dunia II bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai, tapi gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai menengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.

Alhasil, tantangan bangsa Indonesia adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Untuk itu, diperlukan pendekatan sosialisasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi dimensi kognitif, afektif, dan konatif yang dapat memengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Dalam memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tersebut, hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan juga bintang pimpinan yang dinamis—yang mesti responsif terhadap dinamika perkembangan zaman.

Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka bagi proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memperhatikan semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Maknanya, keterbukaan pengisian dan penafsiran atas setiap sila Pancasila itu dibatasi oleh prinsip-prinsip pokoknya dan oleh keharusan untuk menjaga koherensinya dengan sila-sila yang lain.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement