REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Subhanallah! Ternyata bulan Ramadhan telah mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan menyukai segala kebaikan. Di masjid-masjid, orang-orang berlomba memberi makan dan minum untuk buka puasa. Para fakir dan miskin disantuni. Anak-anak yatim diundang dalam suatu acara buka puasa yang megah dan pulangnya mereka diberi bingkisan.
Lapar, dahaga, dan pahala yang dijanjikan ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan telah menggerakkan kita untuk bersedekah kepada orang-orang yang kelaparan. Kita yang berkecukupan memberikan sebagian harta untuk mereka yang kekurangan. Dan, di akhir Ramadhan kita akan berjumpa dengan segala yang fitrah/Idul Fitri. Saat itulah kita membayar zakat fitrah untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan berupa beras yang sama persis dengan yang kita makan.
Ayah saya di Kediri, Jawa Timur, dulu mempunyai catatan tentang orang-orang fakir, miskin, dan yatim/piatu di kampung yang harus disantuni. Catatan itu dalam bentuk buku yang sangat sederhana dan disimpan di bawah lipatan baju di lemari pakaian. Catatan itu diperbarui setiap menjelang Ramadhan. Almarhum mengumpulkan zakat, infak, dan sedekah dari jamaah masjid dan kemudian membagikan kepada mereka secara adil dan santun.
Mereka, orang-orang yang berhak menerima zakat itu, bukan datang ke masjid-masjid atau kepada orang-orang yang berzakat untuk mengambil haknya. Namun, para pengurus masjid atau amillah yang justru mendatangi rumah-rumah mereka untuk mengantarkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) itu. Dengan begitu, mereka -- para penerima ZIS -- betul-betul ‘diorangkan’. Mereka tidak harus antre berdesak-desakan untuk mengambil apa yang sudah menjadi hak mereka seperti banyak terjadi sekarang ini.
Kini pengumpulan dan pembagian ZIS tidak lagi dilakuan oleh perorangan seperti zaman ayah saya. Selain sudah ada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Amil Zakat Daerah (Bazda), juga terdapat lembaga-lembaga amil zakat lain yang dikelola sangat profesional. Lembaga-lembaga ini bukan hanya menunggu orang-orang membayar zakat, namun juga menjemput bola. Mereka beriklan, mendatangi calon muzakki potensial, melakukan sosialisasi lewat seminar-seminar dan workshop, melalui acara di televisi, dan seterusnya.
Hasilnya, menurut beberapa teman pengelola ZIS, perolehan pengumpulan zakat, infak sedekah pada bulan Ramadhan seperti sekarang sangat mencengangkan. Meningkat hingga tiga atau empat kali dibandingkan dengan bulan-bulan biasa. Ada lembaga ZIS yang pada bulan-bulan biasa bisa rutin mengumpulkan sekitar Rp4 miliar, pada bulan Ramadhan berhasil mengumpulkan hingga Rp16 miliar. Subhanallah.
Bukan hanya Lazis (lembaga amal zakat, infak, sedekah), kotak amal Jumat di masjid-masjid pun ketiban rizki. Di Masjid Attaqwa Attahiriyah di Kampung Melayu, Jakarta Selatan, misalnya, pada hari-hari Jumat biasa dapat rutin memperoleh sekitar Rp3 juta, namun pada Jumat selama Ramadhan ini bisa mengumpulkan sekitar Rp4-4,5 juta.
Ramadhan memang telah membuat kita berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Namun, kalau ada yang patut dicermati adalah seberapa besar sebenarnya orang-orang miskin di negeri ini yang berhasil dientaskan oleh potensi ZIS yang berhasil dikumpulkan?
Menurut data, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia sebenarnya berpotensi bisa mengumpulkan zakat sebesar Rp217 triliun. Namun, pada 2014 lalu yang berhasil didapat dari potensi itu hanya Rp5 triliun. Di satu sisi data ini menjadi tantangan bagi para pegiat zakat, namun di sisi yang lain jumlah Rp5 triliun pun tetap saja bukan jumlah yang kecil. Pertanyaannya, sekali lagi, dengan jumlah sebesar itu berapa sebenarnya masyarakat miskin yang kelar dientaskan dari kemiskinannya?
Masing-masing lembaga ZIS tentu sudah mempunyai catatan (pertanggung-jawaban) rinci tentang kegiatan menyaluran zakat, infak, dan sedekah yang berhasil dikumpulkan. Namun, lantaran tidak terkordinasi dengan baik antar-lembaga ZIS, penyaluran zakat, infak, dan sedekah menjadi kurang optimal dalam pengentasan kemiskinan masyarakat. Di sinilah sebenarnya peran penting dari Baznas sebagai kordinator, penyedia data, dan fasilitator, tanpa harus ikut campur dalam pengelolaan ZIS masing-masing lembaga.
Yang terkesan selama ini masing-masing lembaga ZIS seolah berlomba-lomba bagaimana mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya, terutama di bulan Ramadhan seperti sekarang. Lihatlah, spanduk-spanduk iklan dari lembaga-lembaga ZIS yang bertebaran di berbagai jalanan. Namun, sebenarnya banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai kegiatan penyaluran dari ZIS itu sendiri.
Kita bermimpi dari lembaga-lembaga ZIS itu akan tercipta sentra-sentra ekonomi produktif di tengah masyarakat miskin. Kita menginginkan dari para Lazis akan terbangun sekian sekolah, sekian universitas, sekian pesantren, sekian rumah yatim, sekian rumah sakit, sekian rumah singgah buat anak-anak terlantar dan gelandangan, dan seterusnya di berbagai daerah. Semuanya didedikasikan untuk anak-anak dan masyarakat miskin.
Bukan hanya dari lembaga-lembaga ZIS, tapi kita juga mengharapkan dari orang-orang kaya dan super kaya negeri ini ada gerakan wakaf perusahaan atau saham perusahaan yang didedikasikan buat umat. Sayangnya, mengutip pandangan pengamat sosial di Timur Tengah, Khalid al Qasythaini, gerakan seperti itu belum membudaya di kalangan masyarakat Muslim. Tentu saja termasuk masyarakat Islam Indonesia.
Menurutnya, seperti dikutip media al Shawq al Awsat, kebiasaan orang-orang kaya dan super kaya Muslim masih mewariskan harta bendanya ke orang-orang terdekatnya. Misalnya ke anak-anak, istri, atau saudaranya. Kalau mereka ingin berinfak, lanjut al Qasythaini, maka yang menjadi fokus masih berupa pembangunan masjid atau renovasi masjid yang sudah ada. Belum berupa infak, sedekah atau wakaf dalam bentuk usaha-usaha produktif.
Karena itu, al Qasythaini, sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh orang super kaya Arab Saudi, Pangeran Walid bin Thalal bin Abdul Aziz, ketika mengumumkan akan menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk kepentingan kemanusiaan. Kekayaan Pangeran Walid, sebagaimana dikutip berbagai media, sekitar 32 miliar dolar AS atau setara dengan Rp420 triliun (kurs 13 ribu) atau hampir seperempat dari APBN Indonesia.
Pangeran Walid selama ini selain dikenal super kaya, juga sangat dermawan. Ia banyak membantu proyek-proyek kemanusiaan di berbagai negara berpenduduk Muslim di Asia dan Afrika. Pangeran flamboyan ini berharap kekayaannya bisa bermanfaat untuk kemanusiaan baik ketika ia masih hidup maupun setelah ia meninggal dunia nanti.
Kita berharap Ramadhan kali ini bisa memberi kesadaran baru bagi kita semua untuk fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Antara lain dalam bentuk gerakan amal-amal produktif untuk umat. Bukankah ini yang disebut amal jariyah yang pahalanya tidak akan putus walapun yang bersangkutan telah meninggal dunia?
Lebaran sebentar lagi. Selamat hari raya Idul Fitri. Semoga ibadah puasa Ramadhan yang kita jalani bisa menjadikan kita sebagai insan-insan yang bertakwa.