REPUBLIKA.CO.ID, Di rubrik ini, pada pertengahan September 2014, saya pernah menulis ‘Laikkah ISIS Dikeroyok 40 Negara?’ Pada waktu itu kelompok teroris yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS baru saja menguasai Mosul, kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad.
Dengan mengambil alih Kota Mosul, masyarakat dunia baru ngeh tentang kekuatan dan sekaligus bahayanya ISIS yang beberapa hari sebelumnya telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara dengan pemimpinnya Abu Bakar al Baghdadi. Apalagi, dalam proses untuk menguasai wilayah di Irak dan Suriah, ISIS telah menghalalkan segala cara. Dari menculik, membunuh, membakar hidup-hidup, memperkosa, hingga melakukan bom bunuh diri di mana-mana.
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama pun menyatakan akan memimpin sebuah koalisi besar untuk menghancurkan ISIS. Koalisi ini melibatkan lebih dari 40 negara, baik langsung maupun dalam bentuk lain. Sejumlah negara yang tergabung dalam Liga Arab dan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) menyatakan ikut dalam koalisi ini.
Kekuatan militer dari koalisi besar itu tentu sangat dahsyat yang tidak sebanding dengan kekuatan militer ISIS yang hanya beranggotakan sekitar 20 sampai 31 ribu personel. Itulah sebabnya, saya membuat tulisan dengan judul tersebut.
Apalagi, belum ada ceritanya ada negara yang diinvasi oleh koalisi pimpinan AS yang bisa bertahan. Kalau ada perlawanan, itu hanya menunggu waktu untuk kemudian akan KO (knock out) alias fight ending atau menyerah kalah. Lihatlah apa yang terjadi pada Afghanistan Taliban, Irak Saddam Husein, dan Libia Muammar Qadafi.
Namun, faktanya hampir setahun terbentuknya koalisi internasional itu ISIS bukannya habis atau melemah. Sebaliknya, ISIS justru berhasil memperluas wilayah di tengah gempuran pesawat-pesawat tempur koalisi. Karena itu, pada Juni 2015 saya pun mempertanyakan di kolom ini ‘Mengapa Koalisi Internasional Gagal Hancurkan ISIS?’
Bukan hanya gagal dihancurkan, bahkan ISIS kini pun semakin berani beroperasi di luar Irak dan Suriah. Sejumlah bom bunuh diri mereka lakukan di Arab Saudi, Yaman, Kuwait, Tunisia, dan negara lain. Mereka juga melancarkan sejumlah serangan di Paris. Sepasang suami istri yang mengaku sebagai pengikut ISIS menembak mati 14 orang di San Bernardino, California, AS. Mereka pun mengancam akan semakin banyak melakukan serangan terhadap negara-negara Barat lainnya.
Perang melawan terorisme pun kini semakin melibatkan banyak negara. Negara-negara yang tergabung dalam koalisi besar pimpinan AS yang tadinya hanya pasif menjadi penonton, sekarang aktif untuk ikut berperang melawan para teroris.
Jerman, misalnya, yang sejak Perang Dunia II sengaja tidak melibatkan diri ikut berperang di luar wilayah mereka, kini telah memutuskan untuk mengirimkan pasukannya ke Suriah. Sebelumnya, Rusia juga telah lebih dulu membangun basis-basis militer di Suriah dan memaksakan peta politik versinya sendiri.
Pertanyaannya, bagaimanakah peta politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah pada masa yang akan datang? Apakah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim ini hanya berdiam diri menjadi objek dari peta dunia yang dibuat negara-negara Barat? Apakah mereka hanya akan berpangku tangan melihat wilayah Timur Tengah dan Islam menjadi perebutan pengaruh oleh kekuatan-kekuatan dunia?
Di sinilah barangkali urgensi dari Koalisi Negara-negara Islam yang dibentuk dan dikomandani oleh Arab Saudi. Koalisi militer yang diumumkan oleh Wakil Putra Mahkota yang juga Menteri Pertahanan Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz, pada Selasa lalu akan beranggotakan 34 dari 52 negara Islam (baca: negara berpenduduk mayoritas Muslim).
Menurut Muhammad bin Salman, koalisi ini merupakan aliansi baru yang akan mengoordinasikan upaya-upaya melawan terorisme. Bukan hanya ISIS, namun juga kelompok-kelompok ekstremis lain di Irak, Suriah, Libia, Mesir, Afghanistan, dan seterusnya. ‘‘Pembentukan koalisi ini merupakan bentuk dari kewaspadaan dunia Islam dalam memerangi penyakit ekstremisme Islam yang telah merusak dunia Islam,’’ ujar sang pangeran.
Meminjam istilah kolomnis Arab Saudi, Abdul Rahman al Rasyid, Koalisi Negara-negara Islam ini penting untuk menjadi pemegang kendali dan penentu dalam perang melawan kelompok-kelompok teroris yang mengklaim sebagai pejuang Islam. Koalisi ini juga sebagai bentuk dari tanggung-jawab umat Islam untuk tidak menyerahkan persolan kepada pihak lain. Sungguh menyedihkan, katanya, apabila persoalan umat Islam -- dari pemikiran, ideologi, hingga peta politik dan keamanan -- diserahkan kepada pihak lain.
Ia mencontohkan tentang definisi teroris versi Rusia yang berbeda dengan pandangan mayoritas negara-negara Arab. Selama ini Rusia menganggap siapa pun yang melawan rezim penguasa, meskipun penguasa itu zalim sekalipun, adalah teroris yang harus diperangi. Itulah sebabnya Rusia juga menggempur basis-basis kekuatan kelompok-kelompok oposisi di Suriah. Belakangan Negara Beruang Merah itu baru menyerang ISIS setelah kelompok teroris ini memasang bom di pesawat sipilnya yang kemudian meledak di atas wilayah Sinai, Mesir. Sementara itu, AS juga mempunyai pandangannya sendiri mengenai kelompok-kelompok teroris ini yang cenderung rasial.
Menurut al Rasyid, seyogiannya umat Islam tidak boleh berdiam diri melihat definisi terhadap terorisme yang berbeda-beda itu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pembentukan koalisi negara-negara Islam, lanjutnya, adalah sebagai bentuk tanggung-jawab dari perang melawan terorisme di kalangan umat Islam itu.
Persoalannya, bagaimana bentuk dari koalisi militer yang digagas oleh Arab Saudi itu? Bagaimana peran dari masing-masing anggota koalisi?
Persoalan ini perlu dikemukakan lantaran kemampuan militer dan ekonomi masing-masing negara Islam berbeda-beda. Ada yang sangat kuat dan ada yang lemah. Ini belum lagi ada bebera negara Islam yang keberatan untuk bergabung dengan koalisi militer itu. Misalnya, Indonesia yang mendasarkan politik luar negerinya sebagai ‘bebas aktif’ menolak untuk ikut bergabung.
Hingga kini, pihak Saudi belum memberikan rincian tentang bentuk koalisi ini. Namun, beberapa pihak menyebut koalisi itu akan seperti koalisi negara-negara Arab yang dipimpin Arab Saudi ketika menyerang kelompok al Hauthi di Yaman. Dalam koalisi ini hanya beberapa negara yang aktif ikut menyerang al Hauthi, seperti Saudi sendiri dan beberapa negara Teluk kaya. Sementara itu, yang lainnya hanya mendukung secara politik dan moral.
Karena itu koalisi negara-negara Islam ini bila tidak mau gagal – seperti koalisi internasional pimpinan AS -- seharusnya tidak hanya militer, namun juga koalisi pemikiran dan ideologi. Katakanlah koalisi poros Arab Saudi-Mesir-Turki. Ketiga negara ini selain kuat di bidang militer, namun juga menjadi simbol pusat pemikiran Islam moderat yang diwakili oleh Mekah (dan Madinah), Al Azhar, dan Istambul. Mekah-Al Azhar-Istanbul bisa dikatakan merupakan kiblat dan pusat peradaban besar Islam Sunni.
Saya yakin bila poros Mekah-Al Azhar-Istanbul ini terbentuk, negara-negara slam akan tergabung. Perang melawan terorisme bukan hanya militer, namun yang juga tidak kalah pentingnya adalah perang melawan ideologi radikal yang mengatasnamakan Islam. Terorisme adalah ideologi.