REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azimah Subagijo *)
Sebuah kamera ponsel merekam sebuah adegan di sebuah ruang tunggu entah dimana. Seorang ibu muda berjilbab bersama seorang anak duduk di sebuah kursi tunggu. Wajah sang anak terlihat bosan. Sambil memainkan ponsel ibunya, ia berusaha merajuk pada sang ibu. Tetapi, sang ibu hanya memintanya untuk tenang, tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya dilihat oleh anak dari ponsel yang kemungkinan besar milik sang ibu. Sang ibu kembali hanyut memperhatikan sesuatu yang dinantinya semenjak tadi. Tanpa sengaja, kamera perekam itu pun kemudian menangkap beberapa detik materi yang dilihat oleh sang anak melalui ponsel di genggamannya. Ternyata, itu adalah sexual explicit material alias pornografi kelas berat. Dan yang melihatnya adalah seorang anak yang diperkirakan masih balita di tengah kerumunan orang banyak, siang hari dan disamping orang yang diperkirakan ibunya!
Kejadian penyebaran video anak dan ponsel porno ini (14/03/2018) sungguh sebuah fenomena yang memprihatinkan. Namun, lebih memprihatinkan lagi ternyata video pendek itu viral melalui aplikasi berbagi pesan WhatsApp (WA). Tak sampai 24 jam, tujuh WA group dan 2 WA jalur pribadi mengirimi saya video tersebut. Sudah hampir dipastikan video itu telah viral di dunia maya. Mungkin maksud orang yang merekam maupun yang menyebarkannya kembali ke WA-WA group atau aplikasi penyebar pesan lainnya bisa jadi, awalnya baik. Yaitu agar orang tua lebih perhatian dan mengawasi anaknya, terutama saat berinteraksi dengan ponsel. Disamping itu, juga sebagai pelajaran agar kejadian balita tersebut jangan sampai terjadi pada anak-anak kita.
Apalagi ternyata menurut seorang teman yang paham media digital, ditilik dari video singkat tersebut, menunjukan bahwa sang anak melihat materi porno itu dari materi yang sudah ada/tersimpan di ponsel. Jadi bukan berasal dari pencarian melalui internet. Tentu saja jika kondisi ini benar, fenomena ini makin menyesakan dada. Betapa ringannya seorang Ibu (jika benar pula itu ibunya) membiarkan putrinya yang masih kecil memainkan ponsel yang berisi materi pornografi.
Namun, apakah dengan kita turut menyebarkan video sang anak tadi, menyelesaikan masalah? Atau bukannya menambah masalah bagi sang anak yang terekam tersebut? Bagaimana dengan sang ibu, apakah dia kemudian menjadi sadar dan memperbaiki pengasuhannya terhadap sang anak? Bagaimana pula jika tetangga, teman sekolah, teman sebaya sang anak, bahkan hingga predator anak melihat video tersebut? Apakah bukannya justru membuat masa depan sang anak menjadi terancam?
Untuk itu, melalui tulisan ini, penulis berharap kejadian ini menjadi yang pertama dan terakhir. Kepentingan terbaik untuk anak harus lebih kita kedepankan. Anak mempunyai hak perlindungan dari kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya. Termasuk dalam konteks bermedia. Salah satu bentuk perlakuan salah pada anak dalam kasus ini adalah perilaku orangtua atau orang dewasa yang membiarkan anak berinteraksi dengan ponsel tanpa pengawasan hingga terpapar pornografi.
Anak dan Pornografi (ilustrasi)
Bentuk perlakuan salah yang lain dalam kasus ini juga dilakukan oleh perekam (dan juga penyebar) yang membiarkan wajah sang anak terlihat jelas sehingga potensial ia menjadi trauma atau objek kekerasan lainnya (bulliying, sasaran predator anak, stigmatisasi, dan lain-lain). Apalagi mengingat sifat dunia maya adalah pesan yang telah diposting akan tersimpan selamanya. Ya selamanya. Karena kita tidak tahu dari video viral tersebut siapa saja di kolong jagad ini yang telah menyimpannya untuk berbagai kepentingan.
Oleh karena itu, penulis menghimbau kepada seluruh orangtua, pendidik, dan masyarakat umum, please stop re-share! Jangan sebarkan video itu kembali. Saring sebelum sharing. Berpikir sebelum posting (Think Before You Post). Jika kita menerima kiriman video berisi materi pornografi dari dunia maya, tolong jangan sebarkan kembali. Lebih baik segera laporkan kepada Polisi terutama unit Siber Bareskrim, KemKominfo, atau instansi berwenang lainnya. Kita desak mereka bekerja agar sang anak bisa terselamatkan, orangtuanya bisa menyadari kekeliruannya, dan kita selamat dari potensi menjadi pelaku kejahatan pornografi.
Hal ini mengingat, delik pornografi di Undang-Undang No.44 tahun 2008 tentang Pornografi bukan hanya menjerat pembuat atau perekam, atau model pornografi, namun juga yang menyebarkannya dan juga yang mempertontonkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi (lihat Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 Undang-Udnag No. 44/2008 tentang Pornografi). Bahkan sang ibu atau orang dewasa di sekitar anak yang membiarkan sang anak menggunakan produk pornografi juga potensial terkena pidana pornografi (lihat Pasal 12 Undang-Undang No.44/2008 tentang Pornografi).
Untuk itu mari kita evaluasi sikap kita dalam bermedia terutama media digital. Membuat suatu isu viral, tidak selalu menjadi cara yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Terutama dalam kasus ini, menurut penulis alangkah lebih efektifnya jika kita dapat mengingatkan langsung sang ibu, diawali dengan bertanya identitas sang ibu, sebelum membahas tentang kasus anaknya. Sehingga jika sang ibu malah marah atau tidak terima kita ingatkan, perangkat negara lainnya bisa juga turut bekerja seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), PKK, Pekerja Sosial, atau Kepala Lingkungan seperti pak RT atau RW untuk mengingatkan sang ibu sesuai kewenangannya masing-masing.
Jadi, mari mulai sekarang kita bijak bermedia. Mari lindungi anak kita dari ponsel dan pornografi. Mari selamatkan generasi muda lainnya dari bahaya pornografi.
* Ketua Umum Perhimpunan Msyarakat Tolak Pornografi