Oleh: Yusuf Maulana *)
Sudah berpekan-pekan Idris, si tukang patri dari Minangkabau, menanti barang yang telah dikerjakannya untuk diambil sang pemilik. Namun, sang empu barang tidak kunjung muncul batang hidungnya. Padahal, Idris dan sang pemilik barang sudah membuat surat perjanjian. Sang empu barang mestinya tidak lupa.
Sampai suatu ketika, empu barang datang menemui Idris. Lelaki asal Jawa Tengah yang mengabdi ke negara sebagai kapten TNI itu justru bukannya meminta maaf pada Idris. Sebaliknya, sang kapten muring-muring dan mengatakan pekerjaan Idris tidak memuaskan. Ditunjukkannya cacat dan cela barang patrian di depan Idris.
Idris menjawab dengan mengeluarkan surat perjanjian yang dilanggar si kapten. Apa-apa yang diperintahkan kepadanya, menurut Idris, juga sudah dipenuhi.
Rupanya kapten TNI itu keberatan dengan jawaban Idris. Ia salah terima.
“Jangan menjawab begitu kasar kepada saya,” katanya, “ engkau tahu bahwa saya adalah Kapten TNI. Saya punya banyak keperluan lain daripada menjaga janji kepada engkau. Siapa engkau?”
“Mengapa Bapak tanyakan lagi kepada saya, sedang dari dulu Bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri,” jawab Idris dengan sikap tenang. “Hidup saya cuma makan upah, kalau cocok harga menjadi, kalau tidak, tidak apa. Tetapi meskipun saya hanya tukang patri, saya manusia. Bapak. Saya tahu harga diri, kalau Bapak berjalan lurus, berkata benar, saya segan kepada Bapak, baik Bapak kapten atau tukang patri sebagaimana saya.”
Dengan sangat marah, si kapten mengangkat tangan hendak memukul Idris. Untung saja dia tidak membawa pistol! Di luar dugaan, tangan kanan si kapten ditangkap Idris lalu diputarnya ke bawah! Orang-orang yang menyaksikan segera memisahkan keduanya.
“Karena Saudara Kapten tidak membawa senjata, biar saya beri senjata dan beramuk kita di sini. Saya menerima upah yang halal, bukan menjual diri!” tandas Idris yang masih dipegangi warga yang melerai.
Sikap Idris yang pemberani dengan menangkap “provokasi” seorang kapten TNI dipahami Buya Hamka, sumber yang dipetik dari kisah di atas dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Islam (1985: 90-92). Buya Hamka menyebutnya sebagai “kesadaran harga diri”, yang disebut “siri” oleh orang-orang Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja,
“Menurut pendapat saya sebagai bangsa Indonesia yang merdeka,” tulis Buya Hamka, masih di buku yang sama, “kita mesti mempunyai siri mempunyai harga diri. Siri menurut ajaran agama Islam ialah kebebasan pribadi, kemerdekaan sebagai bangsa, tidak ada tempat takut melainkan Allah, tidak ada yang kuat dan tidak ada yang kuasa di dunia ini kalau tidak dengan izin Allah” (halaman 81).
Siri ini sepadan dengan syaja’ah, dalam paparan Buya Hamka. Perangai syaja’ah merupakan pertengahan antara pengecut (jubun) dan berani babi (tahawwur). Jubun berarti seseorang itu yakin dirinya di pihak yang benar tapi ia masih takut menyebutkan kebenaran itu. Ringkasnya, ia tidak mempunyai keberanian moral, dan memilih untuk memendamnya. Tahawwur, sebaliknya, sudah tahu dirinya di pihak salah tapi mati-matian menyatakan dirinya benar, dan orang lain salah.
Siri yang diperbuat Idris dalam cerita di atas berada di jalan kebenaran; ia mempertahankan hak-haknya yang dilecehkan konsumen. Maka sudah sepatutnyalah Muslim yang hak-hak, termasuk identitas dan kepentingannya, diusik ataupun dirusak untuk tidak bungkam, terkecuali memang berada dalam status selemah-lemahnya iman. Atau yang lebih parah lagi, berbalik arah dengan mendukung pihak yang merusak agama ini, dengan alasan yang dicari-cari dari dalil dan kaidah berislam.
Siri dalam agama ini bukanlah tidaklah berarti mengabaikan perhitungan matang dalam melangkah. Siri dalam situasi saat ini diperlukan ketika rasa malu dan menghormati diri tidak lagi dipandang penting. Kehormatan diri dicabik-cabik demi mengabdi pada kekuasaan yang merenggut rasa malu berasaskan iman. Bolak-balik diundang, dijamu, dan diceramahi oleh kekuasaan, tanpa menyadari ada politisasi yang di kemudian hari berpotensi merugikan umat.
Di sinilah pentingnya para ulama, sebagai pewaris para nabi, untuk menyadari status dan kedudukan mereka. Bukan dalam relasi kedudukan prestisius demi tawaran materi di dunia dari pihak penguasa. Dengan demikian, siri mestinya melekat dalam dada para ulama, tanpa mengenal batas waktu dan tempat. Betapa tidak, perilaku ulama yang gagal memegang teguh rasa malu atau siri ini akan berakibat pada praktik kekuasaan yang akan menjaga kepentingan rakyat ataupun umat.
“Rusaknya rakyat tidak lain adalah karena kerusakan para penguasa. Dan rusaknya para penguasa ialah karena kerusakan ulama. Kalau bukanlah karena qadhi-qadhi yang jahat dan ulama yang jahat, akan sedikitlah kerusakan pada para penguasa; karena mereka takut perbuatan mereka yang salah akan ditegur,” ucap Buya Hamka dengan menyitir perkataan Imam al-Ghazali, saat Pekan Orientasi Ulama/Khatib Seluruh Indonesia pada 6-12 Desember 1976 di Jakarta. Demikian dicatat jurnalis senior Rosihan Anwar dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979:159).
Ketika simbol-simbol keislaman tidak dihormati, bahkan cenderung dilecehkan, kekuasaan yang demikian mestinya dapat disikapi dengan beradab oleh para ulama. Bukan dengan lugu memercayai begitu saja kekuasaan yang mendadak “baik hati” dan mendekat pada para ulama umat. Ada musim kontestasi politik yang ingin diraih oleh kekuasaan demikian sehingga seyogianyalah para ulama menjaga harga diri, mempertahankan siri. Bukan berduyun-duyun menyambut undangan tapi tanpa diiringi kesiapan untuk memberikan nasihat atas kekeliruan demi kekeliruan yang pernah dibuat kekuasaan zalim tersebut.
Dalam hal ini, Buya Hamka memperingatkan jauh-jauh hari sebelum belakangan beberapa pihak mendadak berpaling pada ulama dan simbol umat Islam.
“Kalau siri yang sejati tidak ada, niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing bahkan daripada golongan yang kuat kepada yang lemah, daripada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa, selain dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.”
“Maka kalau tidak berani lagi mempertahankan keadilan dan kebenaran, berartilah bahwa diri telah punah, dan punah pulalah kemerdekaan,” pungkas Buya Hamka (Ghirah, halaman 92).
Adakah yang dibanggakan para ahli ilmu dan anutan umat selain menjaga siri? Menjaga harga diri yang tidak diragukan lagi bakal mendapat ganjaran besar dari Allah? Yang bahkan seorang Idris saja memperlihatkan betapa kehormatan itu penting dan mulia? Pantang untuk diinjak-injak, tak peduli atas nama aktivitas atau agenda itu dicitrakan begitu nasionalis (meski sebenarnya hanya sekadar politis).
Sungguh menyedihkan bilamana para ulama begitu terpukau dengan retorika dan wacana dari penguasa; lupa untuk mengingati aspirasi umat yang sekian purnama terus diimpit derita dan nestapa akibat kekuasaan tidak amanat dalam bekerja. Bila ini yang terjadi, jangan salahkan bila umat bertanya: berapa mahal siri para ulama? n
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".