Ahad 01 Jul 2018 12:13 WIB

Umat Islam, Intoleransi, dan Pembalikan Stigma Dalam Pilkada

Pilkada hancurkan stigma intoleransi, lembaga survei, hingga klaim demografi politik.

Red: Muhammad Subarkah
Aksi dua pocong dan tiga pria berpakaian serta atribut mencolok mengajak masyarakat Sumut tidak golput dalam Pilgub di bundaran Jalan Sudirman, Medan, beberapa waktu lalu. (ilustrasi).
Foto: Republika/Issha Haruma
Aksi dua pocong dan tiga pria berpakaian serta atribut mencolok mengajak masyarakat Sumut tidak golput dalam Pilgub di bundaran Jalan Sudirman, Medan, beberapa waktu lalu. (ilustrasi).

Oleh: Maiyasyak Johan, Mantan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI.

Pilkada serentak di semua tempat memiliki kisah menarik yang berbeda. Pilkada Jabar menyajikan kisah baru yang menohok wajah lembaga survey dengan kemungkinan besar pasangan calon (Paslon) Ridwan Kamil akan mengulang nasib Rieke dan Teten.

Mengapa demikian? Karena sejak awal, entah pesanan atau bukan, semua lembaga survey telah merilis hasil survey yg menunjukkan angka di bawah 10 persen untuk Paslon ASYIK. Namun Quick Caunt (QC) yang dirilis pasca penjeblosan menunjukan fakta yang berbeda. Dan perbedaan itu tak sederhana, melainkan perbedaan perubahan yang menunjukkan perolehan suara Pasangan ASYIK ternyata potensial untuk memenangkan pilkada mengulang kejayaan yang pernah diraih pasangan Aher pada pilkada yang lalu.

Akibatnya wajah lembaga survey berlepotan - yang sulit dihilangkan, karena bermuara pada ketidakpercayaan publik.

Sekalipun hasil QC menunjukan selisih perolehan suara paslon RK dan ASYIK berhimpitan, serta masih terbuka lebar kemungkinan pertambahan, sehingga karena itu potensi kemungkin menang pada paslon ASYIK menjadi semakin besar. Tetapi, seperti ada yang mencoba menutup pintu kemungkinan itu mulai mekanisme pembentukan opini. 


Hal itu dapat dilihat dari sikap paslon Dedy Mizwar (Demiz) yang membuat pernyataan bukan soal pengakuan kalahnya mereka, melainkan pernyataannya yang mengucapkan selamat pada Paslon Ridwan Kamil. Sementahari hasil perhitungan suara di lebih 6500 TPS belum masuk. Dan Demiz punya pengalaman tentang itu. Di balik itu, lembaga survey pun seperti mencoba keluar dari pergerakan perubahan peroleh suara yang menunjukkan adanya potensi pertambahan suara utk Paslon Asyik - dan terkesan sepertu tidak memperhitungkannya. .

Dalam situasi mencermati itu, seorang teman bertanya: “mungkinkah semua ini berkaitan dengan penunjukan Plt Gub Jabar?”, tanya seorang teman yg ikut mencermati Pilkada Jabar.

“Menarik pertanyaan kau”, kata saya. “Mari kita amati saja, saya kira Tim Paslon ASYIK akan mengawal proses penghitungan suara real dan resmi oleh KPU dengan pengawasan yg ketat. Ditambah dengan bukti Formulir C1”, kata saya lagi.

Banyak yamg heran dan merasakan, seakan-akan ada tangan tak terlihat, tapi terasa ada - terutama ketika Data di KPUD bagaikan tidak bergerak pada saat jumlah data baru dari TPS masuk. Ditingkahi lahirnya ungkapan sinis yang ditujukan pada PKS dan Gerindra yakni bebasnya Jawa Barat dari PKS. Ungkapan itu menunjukkan karakteristik tertentu - sehingga patut diduga siapa yang melontarkannya.

Dari semua perkembangan yang ada, kelihatannya PKS dan Gerindra akan memenangkan Pilkada Jabar - sekalipun tak mudah. Mungkinkah ini akan berujung sengketa? Entalah, tapi data C1 yg akan menjadi penentunya.

Pilkada Gubernur Jawa Tengah lain lagi. Hasil QC menunjukkan perolehan suara paslon Sudirman Said dan Ida Fauziah menunjukan ada pergeseran yang luar biasa - bahwa klaim Jawa Tengah basis dan kantong suara PDIP mulai digugat dan diragukan. Padahal disini PDIP berpasangan dengam anak kyai sepuh PPP. Artinya jika perolehan suara paslon Ganjar itu di asumsikan 70% adalah suara PDIP dan 30% sumbangan anak kyai sepuh PPP, itu artinya pernyataan bahwa Jawa Tengah adalah basis PDIP sebagaimana di klaim selama ini telah kehilangan legitimasinya.

Selain itu, pergeseran dan kemungkinan lain masih bisa terjadi - menunggu hal final perhitungan suara berikut penilaian dan sikap yang diambil dari insiden yang ada. Sekalipun kecenderungan dan opini seakan hasil final untuk paslon Ganjar sangat kuat.

Pilada Jawa Timur punya cerita lain lagi. ang bertarung berasal dari akar kultur dan basis komunitas yg sama, yakni Gus Ipul dan Khofifah. Dan kali ini Khofifah bagai Srikandi. Tapi itu juga masih QC. Realnya bagaimana kita tunggu sama-sama. Namun cerita yg menarik, ini bukan perjuangan pertama Kofifah - sehingga karena itu patut diacungi jempol.

Namun teman saya ada yg usil, dan bertanya: Yg saya tak ingin menuliskannya.

Yang aneh dari Jatim adalah adanya kesan, Jokowi menang tapi PDIP kalah. Ini ada apa kok ada opini yang seperti ini.

Sumut lain lagi ceritanya. Yang menonjol di Sumut adalah terkuaknya fakta statistik berdasarkan perolehan suara pasangan calon yang ada, bahwa di kabupaten/kota tertentu di lihat dari sosio-demografisnya, ternyata terdapat kecenderungan sikap dan pilihan politik yg di dasarkan atas suku dan agama.

Kecenderungan tersebut, selama ini selalu dijadikan indikator tentang sikap intoleran dan radikal - yang ditujukan terhadap umat Islam. Tetapi hasil pilkada di Sumut bagaikan sebuah gugatan, yang telah membatalkan tudingan yg selama ini dilekatkan pada umat Islam . Hasil perolehan suara yg diperoleh paslon pada Pilkada Sumut kali ini menunjukkan dengan jelas, di wilayah umat Uslam, perolehan suara dari pasangan di luar Eramas di daerah non muslim cukup signifikan untuk membuktikan itu yakni antara 80% hingga 90% ke atas. Sebaliknya, Eramas hanya mendapat suara pelipur lara.

Ternyata Pilkada selain menghasilkan terpilihnya pasangan kepala daerah, juga terbukanya berbagai fakta lain yang selama ini wara-wiri menghiasi media - banyak yang tak benarnya.

Itulah sedikit serba-serbi pilkada, yang telah membalikkan berbagai stiqma - dan membuka fakta siapa yang selama ini yg menepuk air didulang tepercik mukanya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement