REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahruddin Achmad*
Agustus akan selalu menjadi momentum di Indonesia Raya. Setidaknya 11 hari bersejarah ada di dalamnya. Mulai 5 Agustus sebagai hari Dharma Wanita Nasional, 8 Agustus Hari Ulang Tahun ASEAN, 10 Agustus: Hari Veteran Nasional juga sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 12 Agustus Hari Wanita TNI Angkatan Udara (Wara), 13 Agustus Hari Peringatan Pangkalan Brandan Lautan Api, 14 Agustus Hari Pramuka, 17 Agustus Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 18 Agustus Hari Konstitusi Republik Indonesia, 19 Agustus Hari Departemen Luar Negeri Indonesia, dan 21 Agustus Hari Maritim Nasional. Dari semua hari penting di jejak peradaban Indonesia itu, serasa menyatu dalam satu pekikan: Merdeka!
Akan selalu muncul pertanyaan, bagaimana mengisi kemerdekaan? Tentu saja jawabannya akan sama banyaknya jumlah ingatan dan ide dari semua orang yang ditanya. Paling anyar, seperti kebanyakan ritual 17-an; mengadakan lomba, menggembirakan semua umur di pertiwi ini dengan bertanding segala model segala bentuk, berhadiah sesederhana persiapan panitia, hingga bernilai milyaran oleh negara atau swasta. Tidak ada yang salah dengan itu. Kemerdekaan memang wajib disyukuri, dirayakan, dilestarikan. Mungkin satu yang juga butuh perhatian: dipelihara, agar kata dilestarikan bisa terus berlangsung.
Pastinya, sangat banyak yang perlu dipelihara dari kemerdekaan. Salah satunya; sejarah. Kemerdekaan adalah sejarah, sedang sejarah merupakan urat nadi kemerdekaan. Maka sejarah menjadi warisan wajib dari generasi ke generasi. Kebenaran sejarah menjadi wajib dipelihara dan dilestarikan.
Tak mudah memastikan kebenaran sejarah, sebab dipengaruhi berbagai faktor, khususnya kepentingan politik dan kekuasaan di dalamnya. Tersebutlah tiap babak peristiwa berdirinya Republik Indonesia. Jika banyak perspektif dan kesaksian berbeda jelang Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno, Hatta, dan kawan kawan, sangatlah wajar, sebab sistem partai politik telah mewarnai model ‘perebutan’ kekuasaan di masa itu. Suasana Indonesia lima tahun pra proklamasi diguncang penjajahan Belanda dan Jepang serta gerakan komunis. Pun demikian pascanya. Drama politik haru biru mewarna dari era Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.
Jika dibawa jauh ke belakang saat nama Indonesia bahkan belum terpikirkan, makin banyak perbedaan pendapat tiap kejadian. Tengoklah tentang masa berdirinya kerajaan kerajaan secara absolut melawan penjajahan Belanda (kolonial), atau ke belakang lagi di masa masuknya Islam sejalan saat tumbuhnya pula kerajaan Hindu-Buddha (pra kolonial), atau ke belakang lagi di masa pra sejarah saat ditemukannya “manusia jawa” 1,7 juta tahun lalu.
Kita (perlu) percaya, negara dan banyak pihak telah bekerja keras dan bersusah payah menuliskan sejarah dengan sebenar-benarnya. Penelitian telah berjalan dalam tahunan dan mentranskrip tiap menemukan “hal baru” sehubungan sejarah. Di saat yang sama, generasi kini, esok, dan nanti tetap wajib meriset jika lagi ada “hal baru”, bahkan jika itu harus mereset yang telah ada.
Indonesia membutuhkan lebih banyak penulis sejarah. Perangkai peristiwa yang berani menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi, tak takut membuka tabir jika memang itu ada. Dalam wikipedia, ahli sejarah tercatat hanya 12 orang. Angka sangat sedikit di negara yang telah 73 tahun memproklamirkan kemerdekaan, atau 353 tahun menyatukan diri dalam ikrar se-tanah nusantara. Jumlah ahli sejarah serasa tak berbading jumlah penduduk 262 juta jiwa (per Juli 2017), atau jumlah mahasiswa 200.771 di 4.355 perguruan tinggi (forlap.ristekdikti.go.id).
Dalam setahun sekitar 30 ribuan judul yang buku terbit dan tercatat di IKAPI dan perpustakaan nasional. Dalam angka itu hanya 13 persen buku pelajaran, di dalamnya termasuk sejarah. Di luar itu, sekitar 5 persen tergabung dalam buku selain fiksi dan sastra, agama, referensi, kamus, hiburan, olah raga, dan lainnya.
Efek buruk minimnya buku, tulisan, dan diskusi diskusi mendalam sejarah Indonesia, generasi era 2000-an hingga jelang 2020 tak banyak aktif dan mempelajarinya. Secara formal saja di ruang kelas sekolah dan kuliah. Plus pergolakan politik yang menggandeng pergolakan pemikiran sekaligus akrobat sejarah, menambah apriori banyak orang mendalami sejarah.
Potongan potongan sejarah berseliweran di rimba media sosial. Sudut pandang menjadi sempit. Kesimpulan menjadi salah. Fitnah pun merajalela, berdampak pecahnya rasa percaya antar anak bangsa, mencabik keragaman, kemajemukan, dan multi sosial berbangsa.
Tahun 2018. 73 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setiap anak pertiwi wajib mengisi kemerdekaan. Tiap orang di tanah ini, berhak mengisi kemerdekaan. Begitu pula yang memilih jalan menulis. Tiap penulis wajib memelihara kemerdekaan. Indonesia butuh manusia merdeka menuliskan jejak sejarahnya. Merdeka itu menulis.
Maros, 14 Agustus 2018
*Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan