Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Mengapa demontrasi pembekaran bendera bertuliskan kalimat tauhid masih terjadi? Ketika pertanyaan ini diajukan kepada pengamat sosial keagamaan, Fachry Ali MA, dia menjawab ini akibat persoalan politik. Pembelahan masa memang terjadi, dan syukurnya belum terjadi konflik.
''Muaranya memang ada pada perilaku elit dan imbas keputusan politik kaum elite. Masyarakat di bawah tak tahu menahu atau hanya terseret saja. Maka di situ memang harus ada yang menghentikan sebelum semuanya membesar,'' kata Fachri Aly.
Fachry yang selama ini intens mencermati isu persoalan sosial keagamaan --bahkan disebut spesialis masalah di Nahdlatul Ulama-- lebih lanjut mengatakan memang pada situasi terakhir ada pihak yang terpancing dan memancing. Siapa pihak itu memang tidak jelas tapi terasa ada.
Yang paling menyakitkan memang harus juga disepakati perpecahan ini sebagai imbas dari persaingan pilpres dan juga sebagai akibat adanya ketentuan Presidential Threshold yang mencapai 20 persen. Akibatnya, memang ada terlihat usaha dari elite politik untuk membuat pilpres kali ini terdiri hanya dua pasangan saja.''Dengan kata lain, pembelahan masyarakat akibat Pilpres 2014 dilanjutkan dalam Pilpres kali ini. Jadi ini juga buah dari keputusan elite politik. Inilah yang kini menjadi salah satu buahnya,'' tegas Fachry.
Akibat adanya pembelahan itu, memang pada masyarakat awam memang terkesan ada perpecahan. Padahal sejatinya tidak, yang pecah cuma elite yang ribut bersaing dalam politik.''Jadi kalau siapa yang patut disalahkan, maka jawabnya ya elite kita. Merekalah yang buat dan masyarakat yang tak tahu apa-apa hanya terimbas dan mengikutinya. Akibatnya, persoalan ini harus diselesaikan dulu di tingkat elite dan penegak hukum harus adil dan netral,'' tegasnya lagi.
Fachri menegaskan, untuk menghentikan meluasnya pembelahan masyarakat maka kini elite dalam persoalan politik harus mengajukan 'perang gagasan' bukan 'perang persepsi'. Perang gagasan ini berati adanya tukar jawab serta kompetisi pemikiran. Bukanlah perang persepsi yang nantinya berujung para pembenturan massa.
"Situasi yang terjadi sekarang harus menjadi kajian penting bagi elite di mana dialah sebenarnya yang menjadi pemicu dari pembelahan masa ini. Mereka harus belajar apa itu imbas dari sebuah pengambilan keputusan politik,'' tegasnya.
Pada sisi lain, persoalan penegakan hukum juga menjadi sorotan. Pakar hukum pidana Prof DR Mudzakkir menegaskan memang terasa ada kejanggalan dalam proses penegakan hukum. Polisi terlihat gamang ketika hendak mengenakan status tersangka penodaan agama terhadap para pelaku pembakar gereja. Polisi beralasan karena para pelaku tidak memunyai niat untuk melakukan penodaan terhadap kalimat tauhid. Mereka hanya membakar bendera yang dianggapnya bendera milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menurut dia, persoalan pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid memang telah menimbulkan reaksi keras dan meluas, bukan hanya masyarakat muslim Indonesia tetapi juga merambah ke negara lain di dunia. Tetapi kini masyarakat terpaksa harus menggenggam tangan erat-erat pertanda kegeraman karena.
Hal itu terjadi karena pada awalnya Mekopolhukam dan polisi menyatakan tidak ada niat, bersifat spontanitas, yang dibakar bendera HTI. Dan, bahkan yang hendak dibidik adalah pembawa bendera bertuliskan tauhid, perekam pembakaran bendera bertulisan kalimat tauhid dan pengunggah rekaman sehingga publik menjadi tahu dan mengetahui.
Sementara pelaku pembakar itu tidak termasuk melanggar hukum pidana karena spontanitas, tidak niat, atau tidak ada mens rea untuk melakukan pembakaran bendera warna hitam yang bertuliskan kalimat tauhid itu.
Dalam soal ini memang terlihat tidak diketahui persis alasannya mengapa hal itu terjadi. Ini mungkin ada alat bukti baru yang kemudian membuat penyidik polisi menetapkan 2 (dua) orang pembakar bendera tauhid tersebut dinyatakan sebagai tersangka dan pelaku pembakar lainnya yang tampak terlibat melakukan pembakaran bendera tauhid karena bersama-sama. Ini mengacu pasal 55 KUHP atau pelaku pembantu Pasal 56 KUHP, tidak ditetapkan menjadi tersangka. Sedangkan pasal yang dijadikan dasar untuk menetapkan sebagai tersangka Pasal 174 KUHP.
Pasal tersebut memuat norma hukum pidana yaitu “sengaja mengganggu rapat umum yang diizinkan dengan jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh”. Jadi perbuatan pembakaran bendera yang bertulis kalimat tauhid dan kalimat tauhid sebagai inti dari ajaran agama Islam tersebut tidak menjadi perhatian penyidik.
Ini memang terkesan penyidik tidak menempatkan sebagai nilai hukum yang harus memperoleh jaminan perlindungan hukum pidana. Dan, penyidik lebih mengedepankan perlindungan terhadap rapat umum yang diizinkan pada saat itu bertepatan dengan hari santri, dari pada melindungi kalimat tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Sungguh, masyarakat menjadi bingung sikap Menko Polhukam dan Kepolisian RI. Bagi masyarakat hukum Indonesia bendera sebagai simbul yang memiliki makna yang tinggi bagi masyarakat yang bersangkutan. Bendera bertulisan kalimat tauhid merupakan simbul bagi ummat Islam yang memegang teguh tauhid sebagai inti sari dari ajaran agama Islam dan bahkan dibela dengan taruhan nyawanya.
Seperti zaman perjuangan kemerdekaan RI yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyobek bendera penjajah dan menyisakan bendera merah putih. Sungguh aneh jika dalam upacara bendera pada peringatan 17 Agustus ada beberapa yang sepontanitas membakar bendera merah putih, si pelaku pembakar tidak dihukum karena menodai bendera Indonesia, tetapi dikenakan tindak pidana menggangu rapat umum yang dizinkan yaitu rapat umum pengibaran bendera dalam rangka HUT RI.
Menggunakan dasar hukum Pasal 174 KUHP untuk pembakar bendera tauhid justru lebih meyakitkan lagi bagi ummat Islam Indonesia, karena dengan menggunakan pasal yang mengatur mengganggu rapat umum yang diizinkan, dalam hal ini rapat peringatan hari santri, dengan jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh dengan melakukan perbuatan membakar bendera tauhid.
Dalam hukum pidana setiap pasal memuat norma hukum pidana dan setiap norma hukum pidana memuat asas hukum dan nilai hukum. Setiap norma hukum pidana dalam pasal memiliki asas hukum dan nilai hukum. Penegakan hukum pidana adalah menegakan norma hukum pidana, asas hukum dan menegakan nilai hukum, sehingga nilai hukum tersebut menjadi hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia.
Pasal 174 KUHP memuat ketentuan “sengaja mengganggu rapat umum yang diizinkan dengan jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh”, yang bertujuan hendak nilai ketertiban umum. Sedangkan pembakaran bendera tauhid yang memuat kalimat inti dari keseluruhan ajaran agama Islam dan memiliki nilai yang tinggi dan ditinggikan dalam agama Islam.
Oleh sebab itu, jika penyidik polisi hanya menggunakan Pasal 174 KUHP terhadap pelaku pembakar bendera tauhid, berarti penyidik polisi belum atau tidak memproses atau melakukan penyidikan terhadap perbuatan pembakaran bendera tauhid.
Perlu ditegaskan kembali bahwa tindak pidana menganggu rapat umum yang diizinkan dalam Pasal 174 KUHP untuk menegak nilai ketertiban umum Sedangkan perbuatan pembakaran bendera tauhid tidak termasuk termasuk kualifikasi nilai ketertiban umum, tetapi tindak pidana penodaan terhadap ajaran agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a huruf a KUHP yaitu dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaanterhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Kewajiban negara adalah melindungi kesucian agama yang dianut di Indonesia dari perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama yang dianur di Indonesia.
Nilai hukum yang hendak ditegakan dalam pasal 156a tersebut adalah menjaga kehormatan dan kesucian agama yang dianut di Indonesia, termasuk simbul-simbul dalam agama, perdamaian (kerukunan antar ummat dalam satu agama dan antara ummat berbeda agama) dan menjalankan agama secara baik dan benar.
Larangan melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaanterhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dalam pasal 156a memiliki fungsi pencegahan, yaitu untuk mencegah terjadinya perpecahan dan perbuatan yang lain bersumber dari penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia yang berpotensi mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyidik dan penuntut umum menjalan kekuasaan kehakiman dalam wilayah eksekutif, dan oleh karenanya harus bebas dari kekuasaan manapun. Sedangkan hukum pidana ditegakan harus menjamin tegaknya kepastian hukum yaitu tegaknya norma hukum pidana, asas hukum, dan tegaknya nilai hukum.
"Pada akhirnya penegakan hukum harus menjamin tegaknya keadilan yaitu Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, semoga saja,'' katanya.