REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Bambang Setiaji, Rektor Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Struktur ekonomi kita sangat terkonsentrasi, misalnya penggunaan tanah untuk komoditas versus pertanian sebagai kebutuhan sejati rakyat. Sejumlah korporat menguasai 70 sampai 80 persen tanah untuk ditanami komoditas yang merupakan bisnis pemodal. Tanah untuk pertanian tidak mencukupi dan kebutuhan rakyat harus diimpor, seperti beras, gula, kedelai, daging, dan bumbu.
Keadaan ini mirip dengan kebijakan kultur stelsel, ketika VOC mengutamakan komoditas perdagangannya daripada kebutuhan rakyat. Tetapi, kultur stelsel tidak separah sekarang, karena luas tanah tidak berubah.
VOC pada waktu itu hanya minta beberapa persen tanah untuk ditanami komoditas perdagangannya. Bila ke depan terjadi krisis energi, minyak nabati akan dikonversi menjadi bahan bakar. Ini dapat berubah menjadi konflik antara kebutuhan pangan rakyat versus kebutuhan bahan bakar.
Struktur ekonomi terkonsentrasi memiliki efek domino terhadap ketenagakerjaan. Kosentrasi meringkas jutaan lowongan pekerjaan berbagai level jika lisensi penggunaan tanah dipecah-pecah menjadi ribuan pengusaha menengah yang kuat.
Pengusaha menengah yang kuat ini bisa dihasilkan dari generasi muda yang sekarang memiliki tingkat pendidikan lebih baik. Misalnya, ribuan lulusan IPB dan fakultas pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan yang berbasis tanah dari berbagai universitas terkemuka.
Sesuai semangat UUD 45 khususnya Pasal 33, negara wajib membentuk struktur ekonomi yang lebih egaliter, merata, misalnya denga memperbanyak dan memperkuat kelompok usaha menengah. Itu bisa terjadi jika sistem permodalan tidak berbasis perbankan yang tidak mungkin membiayai usaha baru, tetapi menghidupkan kembali sistem bagi hasil antara negara yang memiliki tanah dan alat alat utama, khususnya alat berat, dengan para sekumpulan sarjana-ahli penggarap.
Sistem bagi hasil tanah tanah bengkok atau tanah desa sudah dikenal lama oleh masyarakat, tetapi kini dilupakan sebagai kekayaan bangsa. Hal di atas perlu dikaji kembali sebagai jawaban mengapa pascakemerdekaan, negara kita berubah menjadi pelayan kepentingan pemodal yang lebih parah dari kultur stelsel? Inilah PR terberat dalam restrukturisasi ekonomi sesuai konstitusi.
Akhir-akhir ini, banyak orang berbicara industri 4.0, khususnya industri kreatif berbasis informasi teknologi. Biasanya, perkembangan teknologi diperdebatkan imbasnya terhadap ketenagakerjaan.
Para ahli ekonomi tenaga kerja kelihatan kewalahan dengan perkembangan teknologi tanpa arahan negara. Sebuah perusahaan ojek daring dan layanan makanannya yang sering menjadi contoh secara cepat dan hampir tak ada saingan melayani seluruh Indonesia.
Aplikasi layanan makanan dari perusahaan ojek daring itu, meminta 20 persen dari penjualan warung-warung yang bergabung. Dengan lebih satu juta warung yang bergabung bisa ditaksir berapa arus kas yang masuk.
Laba penjual warung mungkin hanya 30 sampai 40 persen dan pemilik aplikasi memperoleh 20 persen dari hampir semua warung dan resto utama di Tanah Air. Fakta di atas menggambarkan, ke depan industri 4.0 menyebabkan struktur yang makin terkonsentrasi.
Kita menuju struktur ekonomi semut pekerja. Semut-semut tidak kenal lelah bekerja, hasilnya untuk disajikan kepada semut ratu. Warung, misalnya, tidak ada jalan lain kecuali bergabung dengan pemilik aplikasi.