REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Achmad Jainuri, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
Dua artikel yang secara berturut-turut pernah dimuat di the New Yorker pada Mei dan Juni, 1988, menarik untuk dibuka kembali, terkait bagaimana memahami potensi Islam dan umat Muslim di Indonesia.
Menurut media bulanan ini, dua kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia era 1980-an hanya ada dua, semuanya berbaju 'hijau'. Hijau yang pertama adalah ABRI, sedangkan hijau kedua adalah umat Muslim.
Dua kelompok itulah sesungguhnya yang disebut the real political power di Indonesia, jika keduanya berada dalam sistem kekuasaan. Karena rezim yang berkuasa saat itu adalah hijau yang pertama, maka disarankan untuk 'berbaik' dengannya.
Sedangkan 'hijau' yang kedua terabaikan karena tidak berada dalam struktur kekuasaan. Hingga kini, Islam dan Muslim seakan menjadi kekuatan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja bagi yang menginginkan keuntungan politik darinya.
Dalam perjalanannya, Islam dan Muslim bukan dirangkul menjadi kekuatan positif untuk membangun kehidupan bernegara dan mewujudkan kemakmuran bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya dianggap menjadi kekuatan membahayakan bagi kepentingan kelompok politik tertentu.
Di samping itu, umat Muslim sendiri belum mampu mengonsolidasikan diri menjadi satu kekuatan seperti yang ditulis dalam the New Yorker tersebut.
Karena itu, mudah saja umat Muslim menjadi objek 'pelemahan' karena semata kekhawatiran akan potensi politik yang dimilikinya. Dari rezim Orde Baru hingga sekarang ini, kecenderungan 'pelemahan' umat Muslim terus berlangsung melalui berbagai cara.
Labelisasi umat Muslim identik dengan kekerasan dalam mengekspresikan politik kekuasaan terus berlanjut. Pada era Orde Baru, labelisasi itu muncul dalam Komando Jihad, Teror Warman, Warsidi Lampung, dan Pembajakan Woyla.
Di sinilah makna peringatan Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No” kepada umat Muslim untuk tidak semua terjun ke politik praktis, karena hal itu akan berhadapan dengan rezim yang tidak toleran dengan Islam politik.
Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, labelisasi itu muncul dalam berbagai aksi terorisme. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, labelisasi itu dikaitkan dengan sikap dan ungkapan yang tidak menyenangkan, seperti intoleran, teroris, radikalis, antipluralisme, anti-NKRI, mengujar kebencian kepada kelompok lain, dan sebagainya.
Di tengah-tengah suasana psikologis labelisasi seperti inilah, Reuni 212 dimaksudkan menjawab semua ketidakadilan yang ditujukan kepada umat Muslim. Dari ungkapan 'unek-unek' perasaan mereka, tersimpan kekhawatiran akan terjadi bencana keretakan kesatuan dan persatuan jika hal ini terus berlangsung.
Kekerasan terhadap para tokoh Muslim sering kali terjadi, pengadangan terhadap mubalig tertentu terjadi di mana-mana. Aparat keamanan tampak tidak berdaya menghadapi sebagian masyarakat yang melakukan sweeping terhadap mereka itu.
Ironisnya, yang melakukan ini juga ada sebagian dari kalangan Muslim sendiri. Mereka yang selama ini merasa pluralis dan toleran, justru tidak memberikan ruang perbedaan pada yang lain dan bersikap nonkompromis terhadap ide dan pikiran orang lain.
Ada keinginan memaksakan pendapat diri sendiri kepada orang lain. Hubungan antarsesama tampak lebih didominasi oleh sikap dan perilaku saling menegasikan.