REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sintong Arfiyansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan
Unicorn menjadi pembahasan yang menarik akhir-akhir ini. Hal ini tentu diawali oleh debat capres periode ke-2 yang menyinggung kata tersebut sekaligus strategi menggaet simpati kaum milenial dengan istilah modern.
Tentu dalam kalangan bisnis digital yang saat ini menjadi primadona baru Indonesia, istilah unicorn menjadi frasa yang sering terdengar. Unicorn merupakan istilah bagi startup baru yang mempunyai valuasi atau nilai lebih dari 1 miliar dolar AS.
Laiknya unicorn yang berarti kuda mitologi bertanduk satu, startup dengan valuasi miliaran dolar seolah terbang ajaib dan menjadi distruptor utama dalam era globalisasi ini. Tanduk mistisnya pun mampu menusuk otot-otot perusahaan konvensional raksasa yang awalnya mustahil untuk terlukai.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang menjadi tempat paling potensial dalam perkembangan aktor utama disrupsi ekonomi tersebut.
Para unicorn membutuhkan pangsa pasar, yaitu masyarakat yang melek terhadap teknologi dan populasi kaum muda yang besar. Beruntung, pasar itu ada di Indonesia yang sedang memasuki era bonus demografi atau membesarnya jumlah penduduk usia muda. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di Indonesia terdapat 63 juta milenial atau penduduk dengan usia 20-35 tahun.
Kemudian, apabila mengacu kepada Survey Indonesian Millenial Report 2019 yang dilakukan oleh IDN Research Institute, ternyata 70,4 persen kaum milenial mengakses media digital untuk mengetahui informasi terkini. Bahkan, sebanyak 79 persen kaum milenial membuka telepon pintar satu menit setelah bangun tidur. Hampir setiap aktivitas para milenial tidak pernah lepas dari dukungan digital.
Teknologi digital menjadi pilihan pertama kali dalam pemilihan kuliner, berbelanja produk hingga melancong. Hal ini mengindikasikan ekonomi teknologi digital adalah sektor yang sangat menggiurkan pada era modern.
Terlebih bagi startup yang terus bergerak luar biasa ekspansif menjadi perusahaan unicorn. Disrupsi teknologi modern memang bukan isapan jempol.
Perusahaan minyak, seperti Exxon dan Shell ataupun perusahaan otomotif, seperti General Motor yang menjadi perusahaan terbesar di dunia pada awal 2010-an, akhirnya harus tergeser oleh perusahaan teknologi digital, seperti Apple, Alphabet, Microsoft, Amazon, dan Facebook.
Mengerecut ke level Indonesia, kita tentu tidak akan membayangkan pada awal-awal 2010-an bahwa perlahan perusahaan startup yang baru tumbuh, seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia akan mendominasi panggung ekonomi Indonesia.
Mereka bergeliat dan terbang ajaib ibarat unicorn menggerus eksistensi industri lama yang telah mapan bertahun-tahun. Startup Indonesia bergerak luar biasa ekspansif karena memberikan kemudahan yang sangat menarik bagi masyarakat. Inovasi yang ditawarkan beragam, mulai dari potongan harga, transaksi yang mudah, dan pendaftaran yang sederhana.
Mereka juga berusaha mengembangkan ekosistem dengan menggandeng mitra kerja, menambah berbagai fitur layanan, dan terus berkembang untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat.
Tanpa kompromi, para unicorn dan startup yang ingin mengejar gelar tersebut, telah menghajar perusahaan-perusahaan konvensional yang sangat terusik dengan keberadaannya.
Apabila gagal menyesuaikan kebutuhan modern dan hanya berteriak tanpa bertindak, industri lama yang merasa dirinya mapan pasti akan sakit dan punah. Awalnya, toko-toko kelontong mulai terganggu oleh perusahaan belanja daring.
Jasa transportasi konvensional mulai gelisah dengan keberadaan jasa transportasi daring, hingga jasa perhotelan dan penyedia jasa perjalanan wisata kelimpungan dengan keberadaan pesaing digital yang muncul dengan bantuan teknologi.
Kemudian yang terbaru tentu, munculnya jasa teknologi finansial yang mulai mengganggu pemain utama dalam mengelola jasa keuangan di Indonesia.