REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Munawar, Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan
Ketimpangan ekonomi Indonesia masih tinggi. Indeks Gini sebesar 0,389 dengan penduduk miskin sekitar 9,66 persen (BPS, 2018).
Credit Suisse (2016) menyebutkan, 1 persen orang Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional dan 10 persen menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Salah satu jalan yang dapat mengangkat dari kubangan kemiskinan adalah inklusi keuangan.
Menurut Gunarsih dkk (2018), inklusi keuangan dapat menurunkan jumlah kemiskinan di Indonesia. Hasil riset Park dan Mercado (2015) menyatakan inklusi keuangan tidak hanya menurunkan kemiskinan, tetapi juga menurunkan ketimpangan pendapatan.
Akses masyarakat bawah terhadap pendanaan usaha memang masih sulit. Data Passagi (2016) menunjukkan kesenjangan kebutuhan sebesar Rp 988 triliun per tahun. Kebutuhan pendanaan sekitar Rp 1.649 triliun hanya mampu dipenuhi sekitar Rp 660 triliun oleh lembaga keuangan.
Indeks inklusi keuangan Indonesia sebesar 67,82 persen pada tahun 2016. Artinya, (baru) 67,82 persen masyarakat Indonesia yang mengakses layanan keuangan formal. Akhir tahun ini pemerintah menargetkan 75 persen.
Berbagai cara untuk meningkatkan akses pendanaan masyarakat bawah telah dilakukan banyak pihak. Sejak lama pemerintah memiliki program kredit usaha rakyat (KUR).
Berdasarkan data pemerintah, tahun lalu KUR mendanai 4,44 juta debitur dengan nilai mencapai Rp 120,35 triliun. Pemerintah tak sendiri. Bank Indonesia melalui PBI Nomor 17/12/PBI/2015 telah mewajibkan bank umum memberikan kredit/pembiayaan UMKM minimum 20 persen dari total kredit/pembiayaan.
Melalui badan usaha milik negara, Pemerintah membuat program Mekaar (membina ekonomi keluarga sejahtera). Mekaar memberikan layanan bagi wanita pra sejahtera yang tidak memiliki modal untuk membuka usaha maupun modal untuk mengembangkan usaha mereka. Juga ada pembiayaan ultra mikro (UMi) yang memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dan disalurkan oleh lembaga keuangan bukan bank.
Hal serupa telah dilakukan OJK melalui Bank Wakaf Mikro (BWM) yang dirintis sejak Oktober 2017. BWM telah menjangkau masyarakat bawah. Hingga akhir Februari 2019, ada 41 BWM di seluruh Indonesia.
Total pembiayaan kumulatif sebesar Rp 16,758 miliar dengan pembiayaan outstanding Rp 7,848 miliar. Sebanyak 2.680 kelompok usaha masyarakat sekitar pesantren Indonesia (Kumpi) telah terbentuk.
Kehadiran BWM melalui pesantren karena pesantren memiliki peran besar dalam memberdayakan masyarakat dan mengikis kesenjangan ekonomi maupun kemiskinan, khususnya masyarakat di sekitarnya. Saat ini ada sekitar 28.194 pesantren di seluruh pelosok Indonesia (Kemenag, 2018). Pesantren dapat menjadi simpul pemberdayaan masyarakat.
Dukungan CSR
Konsep dan praktik corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) jauh lebih tua daripada istilah CSR itu sendiri. Setidaknya, menurut Windsor (2001), sejak tahun 1920-an pemimpin bisnis sudah melakukan praktik-praktik tanggung jawab dan responsif.
CSR, yang istilahnya digunakan pada tahun 1960-an tersebut, bertujuan mendorong aktivitas perusahaan yang memberikan efek positif pada karyawan, pemangku kepentingan, nasabah, dan lingkungannya (Rochon, 2011).
Definisi dan model CSR terus berkembang. Redman (2006) mengenalkan tiga model CSR. Model pertama disebut traditional conflict model. Model ini memandang kepedulian sosial dan lingkungan dengan profit merupakan hal terpisah.
Model kedua memandang CSR memberikan nilai tambah perusahaan (added value model). Praktik CSR akan dapat meningkatkan profit perusahaan. Sementara itu, pandangan model ketiga adalah multiple goals model. Dalam model ini, perusahaan memiliki komitmen kuat kepada lingkungan tanpa memandang efek kepada profit perusahaan.
Beberapa peraturan di Indonesia telah mengatur tentang CSR/TJSL perusahaan. Di antaranya adalah UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan PP Nomor 47/2012 tentang TJSL PT. Selain itu, ada juga UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal, serta UU Nomor 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di BUMN, CSR bukan barang baru. Perusahaan BUMN telah diwajibkan menyisihkan sebagian laba bersih untuk program kemitraan dan bina lingkungan masing-masing 2 persen.