Dulu saya menghormati MARs dengan banyak rindu juga cemburu, karena Allah. Sekarang pun masih begitu.
Pak Amien. Begitu umumnya teman-teman menyebutnya ketika itu. Lebih alami, memang. Ada rasa akrab ala intelektual perindu, atau setidaknya merasa dekat ala rindu kaum perdu.
Sebutan Pak Amien juga lebih sesuai tradisi penyebutan di negeri ini: ringkas, mudah diingat, tidak menyita memori ekstra. Lebih instan ketimbang menyebut nama lengkapnya: Dr Muhammad Amien Rais.
Saya sendiri lebih pilih sebut MARs. Selain akronim, terselip imaji astronomi di situ. Maklum lagi gandrung fisika, kala itu di UGM. Sumber imaji astronominya adalah planet Mars.
Dan kini, ketika MARs kembali mengorbit di ruang berprahara bangsanya, akibat demokrasi yang terdegradasi, atau semangat kebangsaan yang kian merabun, atau beragam forsa sosial yang terus beresultansi menggerogoti eksistensi NKRI kita, saya kembali terbetot oleh kenangan tentang imaji astronomis itu. Tentang Mars, dengan berbagai citra up-to-date-nya.
*
Si "planet merah" yang namanya diambil dari dewa perang Romawi, Mars, sebuah planet bebatuan beratmosfer tipis yang wajahnya terus bersemu merah-jingga oleh lapisan debu hematite, tak kunjung henti memesona manusia Bumi. Sejak dulu. 15 abad sebelum Aristoteles mencatat fenomena yang menunjukkan Mars lebih jauh daripada Bulan, astronom Mesir (1534 SM) telah memahami tarian kosmik berupa gerak maju mundur planet tersebut. Astronom Cina kenal Mars 11 abad setelah Mesir, atau sekira 1 abad setelah catatan astronomis India Surya Siddhanta memperkirakan diameter Mars.
Masuk abad 17, keterpesonaan manusia terhadap Mars kian tereja. Era telisik geometrik merekah. Tycho Brahe mengukur paralaks diurnal Mars yang kemudian digunakan Johannes Kepler untuk menghitung jarak relatif ke planet tersebut. Saat teleskop sudah ada, Galileo Galilei peroleh kemewahan jadi orang pertama yang melihat Mars lewat alat pengintai langit itu, pada tahun 1610.
Astronom Italia Giovanni Schiaparelli membuat peta detail Mars pertama, pada tahun 1877, menggunakan teleskop sepanjang 22 sentimeter. Di peta itu tampak garis panjang "canali" di permukaan Mars, meski ternyata kemudian itu cuma ilusi optik.
Brahe, Kepler, Galileo, dan Schiaparelli, itu segelintir contoh diantara deretan pengamat langit yang tak menyembunyikan keterpesonaannya terhadap Mars. Dan itu tidak berhenti pada mereka saja.
Saat ini, pemetaan beresolusi tinggi kian melambungkan rasa terpesona terhadap Mars. Apalagi ternyata planet berorbit eksentrik satu ini memuncaki sejumlah rekor berskala Tata Surya.
Dengan ukuran hanya 1/9 besar Bumi, Mars punya Olympus Mons, gunung tertinggi di Tata Surya. Tingginya mencapai 27 km, atau tiga kali lipat tinggi Mount Everest di Bumi yang hanya sekitar 8,8 km.
Top rekor lainnya, Mars punya Valles Marineris, lembah terbesar di Tata Surya. Panjangnya sekitar 4.000 km atau setara panjang Eropa, dan kedalaman hingga 7 km. Bandingkan dengan Grand Canyon di Bumi yang panjangnya hanya 446 km dan kedalamannya hanya 2 km.
Badai debu terbesar di Tata Surya juga adanya di Mars. Badai raksasa yang berkecamuk di seluruh planet itu biasanya terjadi saat Mars berada dekat Matahari. Badai debu tersebut juga berdampak meningkatkan suhu global.
Mengeja misteri Mars yang perlahan sudah tersingkap, juga keterpesonaan manusia terhadapnya, hadirkan pesona tersendiri. Ada citra dewa perang. Ada sketsa inspiratif dari sederet jenius astronomi: tarian maju-mundur yang menampakkan garis orbit tak lumrah, ukur jarak di ruang angkasa, hingga ilusi garis canali. Ada rekor berskala Tata Surya: gunung tertinggi, kawah terluas, dan badai debu terbesar. Semua itu membuihkan rasa terpesona.
Tapi rupanya, terpesona saja tidak cukup. Bahwa sekira 2/3 wahana angkasa ke Mars telah gagal dalam misinya, fakta itu tidak membuat hati berpaling. Sebaliknya, justru memantik ghirah untuk rihlah angkasa. Ya, belakangan rasa terpesona itu mulai bermetamorfosa jadi asa berkelana. Misi wahana berawak manusia sudah diumumkan tahun 2004 silam. Tidak main-main, 2037 ke Mars!
*
MARs bukan Mars, tentu. Sebagaimana Dr Muhammad Amien Rais yang saya akronimkan MARs bukanlah dewa perang Romawi bernama Mars itu. Lantas apa hubungan antara MARs dengan Mars? Di catatan ini, hubungannya bersifat analogi imajinatif. Itu lebih baik, bertelisik, selain menarik.
Teropong belum fokus ke MARs saat pertama kami bersua di sebuah forum PII di Yogya. MARs baru pulang dari Chicago, dan saya santri yang baru saja mengemban amanah kepemimpinan PII di Yogya. Siang itu butir-butir pikiran bernas MARs pun bersemu merah-jingga di benak saya.
Belasan tahun kemudian MARs mengorbit di ruang berbangsa. Seringkali dalam kesendirian yang tak lumrah, juga dengan konsistensi dan gravitas diri yang terjaga. Layaknya Mars di ruang angkasa. Dan juga perkasa.
Coba telisik koreografi tarian amar ma'ruf nahi munkarnya di ruang orbit jihad konstitusi. MARs tampak menampilkan nyali, energi dan strategi tingkat dewa. Seolah dewa perang.
Saat MARs keluar dari menara gading intelektualnya, 1998, dan menggedor pintu-pintu hati anak bangsa dengan tongkat reformasi, singgasana Orde Baru lantas lengser keprabon. Teleskop sosial pun mengarah ke MARs. Muncul banyak pengamat langit Nusantara yang tak menyembunyikan keterpesonaannya pada MARs. Ada yang peroleh kemewahan intelektual lewat kinerja teruji. Juga ada yang bersyarikat membuatkan peta khusus dengan garis "canali" menuju singgasana presiden, meski ternyata itu cuma ilusi politik.
Politik memang tidak mungkin cukup hanya dengan ilusi plus emosi. Perolehan 15 persen suara nasional tidak sepadan untuk seorang tokoh lokomotif reformasi. Rasa dan rasionya begitu, tapi itulah fakta Pilpresnya kala itu.
"MARs dicintai, tapi tidak dipilih." Kalimat itu saya ungkapkan dalam suatu sambutan di hadapan sejumlah tokoh kunci dan kader kaum yang bersyarikat itu.
Di lain sisi, bermunculan banyak penumpang gelap pencari nikmat semata, juga tak sedikit asteroid khianat datang membombardir. Akibatnya reformasi bopeng di sana-sini, dan oleng kesana-kemari. Bopeng dan olengnya dicaci, penumpang gelap dan asteroid khianatnya sendiri tak dicari.
Tamatkah MARs? Rupanya tidak. Di ruang orbit tersibuk sekaligus paling carut-marut, Pemilu Serentak 2019, MARs justru beroposisi dari titik paling dekat dengan matahari kekuasaan. Bersumbukan "kedaulatan rakyat", energi mengorbitnya disebut-sebut berbahan bakar "makar".
Toh MARs tidak menghindar, apalagi sembunyi di ketiak istana, apalagi sembunyi-sembunyi mengamankan ambisi diri untuk nebeng berkuasa. Pada 1998, saat MARs beroposisi serupa terhadap matahari Orde Baru, saya tidak bertanya "Kok seberani itu?". Tapi untuk 2019 kini, bahkan sudah ada referensi imaji astronomi baru tentang Mars untuk menjawab pertanyaan "Kok senekat itu?".
MARs meninggikan moralitas "hi-politics" berdemokrasi di puncak tertinggi yang menyerupai Olympus Mons. MARs terus menggali semangat kebangsaan anak negeri, mungkin agar rekor luas dan dalamnya dapat mengimbangi kawah Valles Marineris. MARs gencar menghembuskan ghirah amar ma'ruf nahi munkar, seolah badai raksasa di Mars, terhadap beragam forsa yang terus beresultansi menggerogoti eksistensi NKRI tercinta.
Boleh jadi ada imaji analogis dalam catatan ini yang terkesan kurang pas. Wallahu a'lam. Dan dengan begitu, pun, saya masih seperti yang dulu: menghormati MARs dengan banyak rindu juga cemburu, karena Allah.
Salam takzim.
TENTANG PENULIS
AM IQBAL PAREWANGI, Anggota DPD RI - MPR RI