Oleh: Doddy Yudistira Adams, Mantan Ketua Media Development Center, The Habibie Center
1 Oktober 1965 suasana kota Yogyakarta sangat mencekam. Saya ketika itu berumur 11 tahun Klas 6 SR Ungaran Yogyakarta. Entah mengapa, tiba-tiba pada malam hari ayahku dan saudara-saudaraku yakni keponakan ayah yang mahasiswa UGM dan IAIN harus mengungsi. Semua pergi menghindari hal-hal buruk yang mungkin akan segera terjadi.
Sebelumnya, rumah eyangku di bilangan kampung Purbonegaran telah di beri silang. Yang memberi tanda silang adalah para anggota Pemuda Rakyat yang menganggap ayahku sebagai ancaman karena beliau eks Tapol Masyumi. Cap inilah yang memberikan predikat aku anak ini 'pemberontak' di kampungku Purbonegaran Yogyakarta itu.
Dan memang, ayahku ditawan rezim Soekarno tanpa peradilan dari tahun 1958 sampai 1964. Ketika peristiwa meletusnya G30S tersebut ayahku masih status tahanan kota.
Tentu saja, kala itu sebagai seorang anak-anak ketika itu aku belum tau ada apa dan mengapa mencekam dan harus mengungsi. Kami pergi mengungsi di Asrama Minang Merapi Singgalang bersama beberapa keluarga lainnyam termasuk Pak Idham Samawi ( pemilik KR, dr Ilyas, Djamaluddin dan lainnya ).
Pada hari-hari itu suasana Yogyakarta tidak Jelas. Berita dari RRI sebagai satu-satunya radio ketika itu simpang siur. Yang kudengar Bung Karno tidak di Istana dan PKI membentuk Dewan Revolusi melakukan Kudeta.
Mencekammnya lagi, di Yogyakarta Komandan Korem dan Kasrem (Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono) diculik dan di bunuh di daerah Kentungan. Bioskop Rahayu di dekat Rumah kami berhari-hari tutup. Demikian juga semua toko di Jalan Solo berhari-hari pula tutup pula.
Kota Yogyakarta mencekam. Terjadi berbagai penculikan dan pembunuhan yang tidak jelas. Semua gelap dan bangsa ini cabik-cabik hingga berdarah-darah. Indonesiaku terluka parah. Revolusi yg di didegungkan Bung Karno membunuh anak-anak negerinya sendiri. Luka hati luka mendalam bangsaku. Saling membunuh dan menculik ketika itu jadi kehidupan keseharian. Pendek kata semua kebrutalan menjadikan negeri ini mencekam.
Saya sampai sekarang juga bertanya dan heran mengapa Bung Karno ketika itu tidak mau mengutuk dan membubarkan PKI? Mengapa? Walaupun keluarga kami telah di hancurkan oleh Soekarno dengan ditawannya ayah kami tanpa peradilan dan memberikan predikat kepada kami sebagai anak pemberontak (PRRI/Masyumi)?
Memang kami sudah memaafkan Soekarno dan rezimnya. Namun, sampai saat ini saya selalu bertanya pada rumput yang bergoyang mengapa Bung Karno Tidak mau Membubarkan PKI? Padahal ketika itu jika Bung Karno Mengutuk dan Membubarkan PKI dia masih kuat dan masih di dukung rakyat untuk memimpin bangsa!
Inilah pertanyaan kami anak negeri yang merupakan anak tapol rezim Soekarno. Siapa yang bisa menjawabnya?