Rabu 26 Oct 2016 17:40 WIB

Bolehkah Menawarkan Harga Berbeda Antara Kredit dan Tunai?

Suku bunga kredit/ilustras
Foto: ist
Suku bunga kredit/ilustras

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Menjawab yang saya hormati. Saya ingin menanyakan tentang bagaimana hukumnya jika kita menjual barang dengan harga yang berbeda antara pembelian tunai dengan kredit. Misal saya menjual laptop dan saya tawarkan ke orang jika tunai harganya Rp 5 juta, tetapi jika secara kredit tiga bulan harganya Rp 5,5 juta. Bolehkah cara demikian?  Bagaimana pula jika saya menawarkan potongan harga jika kredit dibayar lebih cepat, misalnya saya potong Rp 275 ribu untuk pembayaran dua bulan? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ghazzy as Sajjad - Yogyakarta

 Jawaban:

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Allah melimpahkan kebaikan atas usaha Saudara untuk menghindari yang diharamkan. Jual beli dengan dua harga dalam istilah fiqih dikenal dengan istilah bai’ataini fi bai’ah. Jual beli jenis ini dilarang oleh agama. 

Beberapa hadis melarang mengumpulkan dua jual beli dalam satu transaksi (misalnya HR Turmudzi). Dari sini, banyak orang menyatakan bahwa jika kita menjual dengan dua harga berbeda seperti Anda sampaikan maka itu adalah dilarang. 

Tetapi kalau kita teliti lebih dalam maksud dari hadis di atas, maka akan ditemukan penjelasan yang tidak demikian. Transaksi yang dilarang dalam hal ini adalah ketika misalnya si penjual mengatakan: “Saya menjual laptop ini kepadamu dengan harga Rp 5 juta cash (tunai) atau Rp 5,5 juta kredit”. Kemudian masing-masing penjual dan pembeli berpisah dengan tanpa mempertegas harga mana yang disepakati. Hal ini dilarang karena karena masing-masing keduanya berpisah dalam keadaan tidak mengetahui harga mana yang disepakati. Ini rentan terhadap adanya konflik di kemudian hari. 

Imam Turmudzi menjelaskan jika masing-masing berpisah dengan kesepakatan terhadap salah satu harga dari keduanya, maka tidak apa-apa (boleh), dengan syarat harga yang disepakati adalah salah satu dari kedua harga yang ditawarkan itu, bukan harga yang lainnya. Dengan demikian jelaslah bahwa jika kita menjual  dengan dua harga berbeda  maka (1) Jika masing-masing penjual dan pembeli kemudian menyepakati salah satu dari kedua harga itu, maka jual belinya adalah sah, atau (2) Jika keduanya berpisah dalam keadaan tidak menentukan salah satu harga dari keduanya, maka jual belinya adalah haram, termasuk riba yang diharamkan. 

Jika jual beli model ini diharamkan, maka saya tidak bisa membayangkan kapan para pegawai rendahan akan dapat memiliki rumah, sepeda motor, dan lain-lain. Bukankah semuanya diperjualbelikan dengan metode seperti ini?. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa menjual dengan cara kredit justru akan mendapatkan berkah karena berarti memberikan kemudahan bagi orang lain. 

Kedua, bagaimana dengan diskon yang ditawarkan atas pembayaran lebih cepat? Hal ini dapat dianalogikan sebagai dua harga pula. Jika pembeli dan penjual tidak menyepakati kapan atau berapa lama kredit akan dibayarkan, maka akan mendatangkan ketidakpastian harga. Meskipun mereka telah sepakat untuk bertransaksi secara kredit, namun jangka waktu dan harganya menjadi tidak pasti (lebih dari satu harga). Karena itu hal ini tidak diperbolehkan.

Sebagai panduan jika kita hendak melakukan transaksi produk halal secara kredit maka harus memenuhi kriteria (1) Harus ada kesepakatan mengenai jangka waktu kredit dan besarnya harga. Harga kredit boleh lebih mahal daripada harga tunai, baik dinyatakan dalam nominal ataupun persentase, namun perbedaan harga ini bukan semata disebabkan oleh perbedaan jangka waktu pembayaran, namun diperhitungkan dengan risiko yang ditanggung (2) Tidak boleh ada kesepakatan mengenai adanya potongan harga ataupun denda yang dikaitkan dengan jangka waktu pembayaran dan disepakati di awal perjanjian. 

Jika dikhawatirkan pembeli akan mengingkari perjanjian dalam hal pembayaran, maka penjual diperbolehkan menahan barang milik pembeli sebagai jaminan. Denda atas keterlambatan hanya boleh dipungut sebagai bentuk upaya penegakan kontrak, bukan untuk mencari pendapatan. Denda ini harus dialokasikan sebagai dana sosial, sebagaimana infak dan sedekah dan bukan menjadi pemasukan bagi penjual. Sekian, semoga bermanfaat dan an terima kasih atas pertanyaannya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement