Bahasan mengenai aborsi kini kembali mencuat. Terutama, setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dalam Bab IV PP No 61 Tahun 2014 ini diatur mengenai Indikasi Kedaruratan Medis dan Perkosaan sebagai Pengecualian atas Larangan Aborsi.
Dalam PP tersebut diatur, aborsi diperbolehkan dengan syarat dua kondisi saja. Pertama, hamil karena perkosaan, ketika usia kehamilan paling lama 40 hari. Kedua, karena indikasi darurat medis. Beberapa indikasi darurat medis, yakni mengancam nyawa ibu dan atau mengancam kesehatan janin karena kelainan genetik sehingga menyulitkan janin itu hidup di luar kandungan.
Lalu, bagaimana pandangan ulama tentang aborsi sesuai dengan PP No 61 2014 di atas? Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa khusus mengenai aborsi pada 2005.
Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Ma’ruf Amin memutuskan pada dasarnya hukum aborsi dilarang, terlebih pada kehamilan karena zina.
Aborsi bisa diperbolehkan karena adanya uzur baik yang bersifat darurat maupun hajat. Keadaan darurat yang dimaksud, yaitu perempuan hamil menderita sakit fisik berat, seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna, dan penyakit fisik berat lain yang harus ditetapkan oleh dokter. Aborsi juga diperbolehkan jika kehamilannya mengancam nyawa si ibu.
Dalam pertimbangan hajat, aborsi diperbolehkan dengan beberapa kondisi. Pertama, janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan. Kemudian, kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang di dalamnya, antara lain, korban, tim dokter, dan ulama. Syarat aborsi karena perkosaan, yaitu usia janin tidak boleh lebih dari 40 hari.
Dasar aborsi karena perkosaan diperbolehkan merupakan pendapat Syekh Athiyyah Shaqr dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa. Syekh yang pernah menjabat ketua komisi fatwa Al Azhar ini berpendapat, "Jika kehamilan itu akibat zina dan ulama mazhab Syafi’i membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu berlaku pada perzinaan yang terpaksa (perkosaan), yakni (si wanita) merasakan penyesalan dan kepedihan hati."
Yang lebih penting, diperbolehkannya aborsi pada korban perkosaan karena kepedihan hati harus dilakukan sebelum usia kandung mencapai 40 hari karena setelah itu janin akan ditiupkan ruh (nafkhi ar-ruh). Jika dilakukan setelahnya, hukumnya menjadi tidak boleh.
Jikapun dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pertama, boleh (mubah) secara mutlak, tanpa harus ada alasan medis (uzur). Ini menurut ulama Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi—walaupun sebagian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi’i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hanbali.
Kedua, mubah karena alasan medis (uzur) dan makruh jika tanpa uzur. Ini menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi’i.
Ketiga, makruh secara mutlak dan ini menurut sebagian ulama Maliki. Keempat, haram. Ini menurut pendapat mu’tamad (yang dipedomani) oleh ulama Maliki dan sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan ‘azl (coitus interruptus). Hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang.
Pendapat berbeda dan cukup tegas dikeluarkan Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Meski ada indikasi kelainan janin dan cacat tubuh yang dikhawatirkan terjadi setelah kelahiran, Komite Fatwa Arab Saudi menolak dilakukan aborsi. Komite berpendapat bahwa informasi medis tersebut masih bersifat prediktif.
Selain itu, pada prinsipnya wajib menghormati janin dan dilarang menggugurkannya. Allah terkadang memperbaiki kondisi janin pada fase akhir dari usia kandungan. (Jika Allah menghendaki) janin terlahir dalam keadaan selamat dari perkiraan ahli medis jika memang apa yang mereka perkirakan itu benar adanya. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan, yakni berbaik sangka kepada Allah dan memohon kepada-Nya untuk menyembuhkan. ed:hafdiz muftisany