Ibadah haji termasuk kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Ali Imran ayat 97, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
Dari perintah tersebut para ulama merumuskan syarat orang yang diwajibkan haji, yakni Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu. Khusus untuk Muslimah, ada satu syarat tambahan, yaitu harus ada mahram yang menemani.
Mengenai syarat mahram yang menemani seorang wanita menunaikan haji, ada beberapa pendapat di kalangan ulama. Mahram dalam haji pengertiannya tidak semakna dengan mahram dalam ayat tentang pernikahan. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan mahram adalah orang yang haram menikahi wanita itu secara terus-menerus tak ada sesuatu sebab yang menghilangkan keharamannya.
Mahram dalam ibadah haji cakupannya lebih sempit dan lebih terkait pada hubungan keluarga dan seketurunan. Paling jauh bila dihubungkan dengan pengelompokan mahram, sebatas mahram yang muabbad (tidak boleh dinikahi untuk selamanya) bukan muaqqat (sementara waktu).
Pendapat pertama, seorang wanita tidak wajib haji ketika tidak ada mahram yang menemaninya. Para ulama ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, "Janganlah seseorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali ada bersamanya mahram. Dan janganlah seorang perempuan bersafar, kecuali ada mahram bersamanya."
Setelah Nabi menyabdakan yang demikian, berdirilah seorang lelaki dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya istriku ingin menunaikan ibadah haji dan aku telah mencatatkan diri untuk turut dalam peperangan itu dan itu." Rasulullah yang mendengar pertanyaan tersebut menjawab, "Pergilah menunaikan ibadah haji bersama istrimu!" (HR Bukhari dan Muslim).
Yahya ibnu Abbas menceritakan, pernah ada seorang wanita dari penduduk Ray menulis surat kepada Ibrahim An-Nakha’i yang bunyinya, "Sesungguhnya aku seorang wanita kaya, tapi tidak punya mahram, apakah saya wajib mengerjakan haji?"
Maka Ibrahim menjawab dalam surat balasannya,"Sesungguhnya engkau adalah dari orang yang Allah tidak dibuka jalan baginya untuk haji."
Syarat yang tersebut ini, yaitu adanya mahram, dipandang salah satu dari segi kemampuan. Pendapat itu dipegang oleh Abu Hanifah, An-Nakha’i, Al-Hasan, Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq.
Selain itu, menurut Mazhab Syafi’i, definisi mahram yang menemani haji tidak harus suami. Adanya suami atau mahram dapat digantikan oleh sejumlah wanita kepercayaan. Dalam kitab al-Imla’, Imam Syafi’i berpendapat bolehnya wanita berangkat haji meski hanya ditemani satu wanita kepercayaan. Bahkan dalam pendapat lain, jika perjalanannya aman, seorang wanita boleh berhaji tanpa disertai wanita lain.
Beberapa dalil yang dipakai tentang kebolehan wanita haji tanpa mahram, yakni hadis dari Nafi’ yang merupakan budak Abdullah bin Umar. Suatu ketika para bekas budak wanita Ibnu Umar pernah bersafar menunaikan haji bersama dengan Abdullah bin Umar. Artinya para wanita tersebut pergi menunaikan haji tanpa mahramnya.
Ada juga dalil hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ummul Mukminin Aisyah RA. Dalil ini termaktub dalam kitab al-Muhalla karya Ibnu Hazm. "Suatu ketika seseorang bertanya kepada Aisyah tentang apakah setiap wanita saat bersafar harus dengan mahramnya?" Aisyah menjawab, "Tidak semua wanita memiliki mahram."
Jawatan kuasa Fatwa Negeri Johor, Malaysia, mengeluarkan syarat ketat bagi wanita yang akan pergi haji tanpa mahram. Pertama, aman perjalanan dan terjamin keselamatannya. Mahram atau suami memang tidak bisa mendampingi karena alasan syar’i. Karena itu, mendapat izin dari mahram kalau ada; menempuh perjalanan dalam kendaraan yang ramai penumpang; bersama kumpulan perempuan yang tepercaya; dan memiliki bekal yang cukup selama perjalanan. Selain itu, tidak memiliki sakit yang bisa merepotkan orang lain; selalu mengabarkan keadaan kepada keluarga di rumah; dan perjalanannya memang untuk ibadah semata bukan untuk jalan-jalan dan berbelanja. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany