Saya pernah mendengarkan curhat teman SMA mengenai diperbolehkannya guru PNS mengajar di sekolah-sekolah swasta. Kurang lebih dia curhatnya begini, "Menyesal kuliah di jurusan kependidikan. Bukannya semakin baik atau semakin beres dari berbagai problematikanya, justru yang ada malah semakin tahun semakin kompleks permasalahannya. Sanjungan bahwa profesi guru itu mulia dan sebutan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sepertinya hanya dijadikan sebagai alat untuk menjilat para guru non-PNS agar mereka tetap betah/bertahan menjadi guru di tengah diskriminasi yang semakin menjadi-jadi dari tahun demi tahun. Untung saja saya (teman SMA) lulusan Pendidikan Ekonomi, jadi masih bisa kerja di perbankan, perusahaan manufaktur, atau berwirausaha."
Sangat miris dan ironis teman SMA sampai curhat begitu akibat dari semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang pendidikan, khususnya ketenagakerjaan guru. Padahal, beliau adalah lulusan kependidikan. Seharusnya timbul kebanggaan dalam dirinya untuk menjadi seorang guru, tetapi malah sebaliknya.
Curhatan itu muncul sejak dibuatnya Peraturan Menteri Bersama tentang Penugasan Guru PNS di Sekolah Swasta. Peraturan itu menambah jarak dalam stratifikasi antara guru PNS dan non-PNS. Guru PNS semakin lebih nyaman karena terfasilitasi untuk mengajar di luar sekolahnya demi memenuhi kewajiban mengajar 24 jam sehingga tunjangan pun mengalir deras memberikan kesegaran jiwa dan raga. Sedangkan, guru non-PNS semakin lebih "terbuang" karena jatah mengajarnya direbut oleh guru PNS, demi guru PNS (yang telah tersertifikasi) mendapatkan tunjangan profesi melalui kewajiban mengajar 24 jam.
Alasan munculnya peraturan itu yang pertama karena pihak sekolah swasta takut ditinggalkan oleh guru bagus yang mengajar di sekolahnya, apabila guru bagus itu lolos seleksi CPNS. Hal ini memberikan kesan bahwa sekolah swasta enggan merekrut guru baru. Padahal, LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Indonesia semakin menjamur. Otomatis jumlah lulusan kependidikan pun mengalami peningkatan yang signifikan. Jika begitu, mau dikemanakan para lulusan kependidikan?
Dampak peraturan itu secara langsung ialah akan mengurangi jumlah penyerapan tenaga kerja guru baru di tengah semakin menjamurnya LPTK sehingga para lulusan kependidikan "terbuang" sia-sia ke laut lepas. Seharusnya, pemerintah mengurangi jumlah LPTK atau memberdayakan para lulusan kependidikan yang telah tercipta untuk disebar ke seluruh wilayah nusantara. Memang program SM3T sudah dijalankan oleh pemerintah, tetapi bukankah masih banyak sekolah yang mengalami kekurangan tenaga kerja guru di tengah banjirnya lulusan kependidikan dari berbagai LPTK?
Oleh, Alfi Sahrina SPd
Guru SMA Bangil II, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur