Senin 11 Aug 2014 12:00 WIB

IDI Keberatan Aborsi Dilegalkan

Red: operator
Aborsi(ilustrasi)
Aborsi(ilustrasi)

Komnas Perempuan menilai PP Kesehatan Reproduksi dapat mengurangi trauma korban perkosaan.

JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP itu, seorang wanita diperbolehkan melakukan aborsi jika ada indikasi kedaruratan medis dalam kehamilannya atau hamil akibat peristiwa pemerkosaan. “Itu kan sudah diatur dalam KUHP, kalau mau aborsi jangan ajak dokter. Dokter tidak mau dibawa-bawa ke ranah pidana,” kata Ketua Umum IDI Zaenal Abidin kepada Republika, Ahad (10/8).

Zaenal menegaskan, jika praktik aborsi disebabkan oleh indikasi sosial, misalnya pemerkosaan, IDI tetap melarang. Dokter, kata Zaenal, hanya akan mau melakukan praktik aborsi selama ada indikasi medis. Meskipun ada indikasi medis, aborsi tidak serta-merta bisa dilakukan. “Harus ada (rekomendasi) beberapa ahli, seperti ada penegak hukum, psikiater, tokoh agama. Sehingga semua sepakat harus dilakukan aborsi," tuturnya.

Selama ini, kata Zaenal, berdasarkan kode etik dokter, praktik aborsi dilarang keras. Jika dokter melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan, maka sanksinya adalah pidana. Ditanya siapa yang berwenang melakukan aborsi jika merujuk pada PP Kesehatan Reproduksi, Zaenal menjawab, “Dokter jangan dibawa-bawa. Yang mengeluarkan PP-nya yang aborsi,” tegasnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP itu diteken SBY pada 21 Juli 2014 lalu. Pelegalan aborsi untuk kondisi tertentu, mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 75 ayat (1) tercantum bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

PP ini kemudian menuai kritikan dari berbagai kalangan mulai dari Majelis Ulama Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga DPR. Komisi XI DPR bahkan berniat memanggil Kementerian Kesehatan terkait hal ini. Anggota Komisi XI DPR RI, Zuber Safawi, menyatakan, setiap anak memiliki hak untuk hidup dan bayi hasil pemerkosaan bukan pihak yang patut disalahkan. “Saya minta PP soal aborsi ini dievaluasi dan direvisi.”

Namun, Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Desi Murdjiana menilai, penerbitan PP Nomor 61 Tahun 2014 sudah tepat. Komnas Perempuan menilai, PP itu dapat mengurangi dampak psikologis wanita yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. “Ya, kami setuju, pertimbangannya lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan akan berganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan,” kata Desi kepada Republika, Ahad (10/8).

Menurut Desi, masalah pemerkosaan tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa. Selain itu, menurut Desi, UU Kesehatan dan PP ini juga bisa membatasi kategori korban pemerkosaan dengan bukan pemerkosaan. Dua kategori itu, kata Desi, menjadi tugas penegak hukum dan tenaga ahli medis untuk dapat membuktikan apakah wanita yang menginginkan aborsi adalah korban pemerkosaan atau bukan. “Jadi tidak semua orang dengan mudah mengaku sebagai korban perkosaan hanya alasan untuk bisa aborsi.” rep:c62 ed: andri saubani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement