Oleh KH A Hasyim Muzadi -- "An-Naasu Yamdahuunaka, Limaa Yadzunnuunahuu Fiika, Fa Kun Anta Dzaamman Li Nafsika Limaa Ta'lamuhu Minha-- Orang-orang memujimu, karena apa yang mereka sangka ada pada dirimu.Maka, celalah dirimu karena apa yang kau tahu ada pada dirimu" --Ibnu `Athoillah--
Sering kata-kata sufistik tidak mudah dipahami sebagaimana maknanya yang tersurat. Demikian beragam makna yang bisa disimpulkan sehingga menyebabkan seseorang sering tersesat dalam dunia simbol yang berbeda-beda. Tapi, apa yang diajarkan Ibnu `Athoillah tentang mencela diri sendiri adalah hal yang nyata. Nyata karena kita dapat menemukannya dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.
Namun begitu, tetaplah dibutuhkan perenungan mendalam untuk memahami hal ini.Seperti biasa, ungkapan sufistik Ibnu `Atho' selalu diuntai dengan bahasa yang indah. Begitu menawan kata-kata itu sehingga tak sedikit santri yang gemar menghafal karena makna majazi yang dikandungnya. Yang tertulis di awal tulisan ini hanya sepenggal dari untaian indah Ibnu `Atho' dalam kitab Al-Hikam. Tapi, lihatlah betapa dalam makna yang dapat kita tangkap.
Kita bisa dengan mudah menangkap, antara lain, makna tauhid uluhiyahdalam kata-kata itu.Bahwa memuji dan pujian adalah hak dan kewenangan Allah SWT semata. Manusia sebagai makhluk sama sekali tak berhak atas pujian karena kelemahan, kekurangan, serta kehinaan yang melekat pada dirinya. Kalau ada kebaikan yang ditangkap orang ada pada diri kita, itu semata karena kebaikan Allah yang dinisbatkan pada diri kita. Mengapa? Karena, semua kebaikan adalah milik Allah. "Attahiyyatul mubaarokaatus sholawaatut thayyibaatu lillaahi."
Dengan sifat sayang-Nya, Allah menutupi semua keburukan yang ada pada diri kita.Bahkan, Dia menutup keburukan kita dengan kebaikan yang bersumber dari-Nya. Seandainya rasa sayang dan kasih-Nya tak sampai kepada kita, akan terperangahlah orang-orang di sekitar kita, betapa hinanya kita.
Ironisnya, kita tidak menyadari bahwa kita adalah makhuk yang hina, penuh kenistaan, dan disaput dengan segudang kekurangan dan kelemahan.
Gambaran semacam ini umum terjadi di tengah-tengah kita. Di kalangan pemimpin atau yang dipimpin. Di kalangan para imam hingga mereka yang menjadi makmum. Di tengahtengah hartawan sampai mereka yang papa. Di tengah-tengah para ilmuwan hingga orang awam.
Penyakit merasa diri paling berhak dipuji sudah menjelma karat sehingga sulit dihilangkan.Namun, lebih sering penyakit mental ini menyergap mereka yang tengah "beruntung".
Bukankah tak sedikit orang yang kita angkat sebagai pemimpin adalah mereka yang kepadanya kita sematkan beragam pujian dan kebaikan semu? Para pemimpin semacam ini tidak hidup di atas realitas. Mereka diciptakan dan dilahirkan di atas definisi-definisi yang kita buat sendiri untuk mereka. Maka, mereka yang sebelumnya bukan siapa-siapa, lalu menjadi "siapa"
karena kita sendiri yang menjadikan mereka "siapa". Begitu jadi pemimpin, orang-orang se per ti ini sering berada di luar realitas.
Maka, jangan diharap mereka akan mampu memahami masalah umat karena memahami diri sendiri saja mereka tak akan mampu. Oleh Ibnu `Athaillah, kita disarankan belajar mencela diri sendiri sebab dengan cara itu, kita akan menyadari siapa diri ini. Kalau orang bilang kita adalah pemimpin yang ditunggu-tunggu kehadirannya, itu karena mereka sendiri yang meletakkan kita di maqam itu.
Bukankah sering jentik dianggap naga hanya karena kita melihatnya melalui kaca pembesar?Maka, tak sedikit pemimpin, dari semua tingkatan, baik di nasional maupun di daerah, adalah mereka yang kemunculannya sengaja diciptakan melalui rekayasa ilmu tertentu. Mereka dimunculkan karena ambisi pribadi, karena tujuan tertentu dari sekelompok elite, karena faktor-faktor yang berada di luar kemampuan tokoh itu sendiri.
Maka, sering karena perbedaan tujuan, sebuah organisasi pecah.
Karena tidak puas, para tokoh ini lantas membentuk dewan pengurus tandingan.Maka, ingat dan camkanlah anjuran Ibnu `Athaillah tentang pelajaran mencela diri sendiri.
Sebab, hanya kita yang mengerti siapa kita. Hanya kita yang tahu bahwa kita culas, ambisius, suka menyikut kawan seiring, haus kekuasaan, gila materi, gila sanjungan, gila harta, gila takhta, dan gemar memperjualbelikan jabatan. Hanya kita yang tahu bahwa kita sengaja menjauh dari Tuhan, mengkhianati Tuhan, menistakan ajaran agama-Nya, mengabaikan firman-Nya, serta tindakan maksiat lainnya.
Kalau orang bilang kita adalah pemimpin yang tepat untuk bangsa ini, sadarilah itu hanya pujian dari makhkuk kepada makhluk. Kalau ada yang bilang ki ta lah orang yang tepat me mim pin organisasi ini, itulah se ringai serigala yang pada saat nya akan menelan kita. Kalau orang bilang kitalah orang paling tepat mem beri nasihat ini dan itu dalam per kara tertentu, sadarilah itu sema ta jebakan yang akan menguliti aurat kita ketika waktunya sampai.
Kata Ibnu `Athaillah, belajarlah mencela diri sendiri ketika begitu banyak orang mengguyur kita dengan selaksa sanjung dan puji. Senang dipuji dan menjadikan pujian sebagai kita yang "sebenarnya" adalah awal kesombongan. Kesombongan adalah busana Allah. Barang siapa, demikian Allah SWT dalam hadis qudsi, mengenakan keagungan dan kesombongan maka akan dilempar ke dalam neraka kemurkaan-Nya. Allahu akbar--begitu antara lain ajaran tauhid uluhiyah yang dapat kita tangkap dari ajakan Ibnu `Atho' kali ini. Wallaahu a'lam bis shawab