Senin 06 Oct 2014 15:00 WIB
Analisis

Risiko Tinggi Politik Terhadap Ekonomi

Red:

Oleh: Umor Juoro -- Perseteruan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berpengaruh negatif terhadap ekonomi. Pengaruh negatif ini mengamplifikasi pengaruh eksternal yang juga negatif terhadap ekonomi Indonesia. Lemahnya ekonomi Eropa, rencana bank AS mengakhiri stimulasi dan menaikkan suku bunga, serta pertumbuhan ekonomi Cina yang melambat, ditambah dengan defisit neraca perdagangan dan situasi politik yang gonjang-ganjing menyebabkan indeks pasar modal turun karena investor asing menjual sahamnya dan nilai rupiah juga melemah.

Perseteruan politik ini diwarnai oleh keengganan elite pimpinan partai politik untuk bersama-sama mengatasi perbedaan dan bekerja sama untuk kepentingan rakyat yang lebih luas. Tidak bersedianya Megawati bertemu SBY dan keengganan Prabowo mengakui kemenangan Jokowi memperuncing pertentangan politik.

Kekhawatiran pelaku ekonomi

Para pelaku ekonomi dan investor khawatir bahwa ketidakpastian politik membuat pemerintahan Jokowi menjadi tidak efektif. Dengan dikuasainya pimpinan DPR oleh KMP, dikhawatirkan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi tidak akan mendapat dukungan dari DPR.

Presiden terpilih Jokowi menyatakan tidak khawatir dengan dikuasainya DPR oleh KMP. Ia menyatakan, pada waktu sebagai gubernur Jakarta, koalisi partai politik pendukungnya hanya menguasai 11 persen kursi DPRD. Hal ini tidak menjadi masalah. Jokowi yakin bahwa selama kebijakan pemerintahannya adalah untuk rakyat, DPR yang dikuasai KMP akan juga mendukungnya.

Sekalipun demikian, kekhawatiran pelaku ekonomi beralasan, apalagi dengan UU Pilkada yang disahkan DPR menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan tidak secara langsung oleh pemilih, tetapi oleh DPRD. Presiden SBY kemudian mengeluarkan perppu membatalkan UU Pilkada yang disahkan DPR tersebut. Perppu ini kembali harus mendapatkan persetujuan DPR. Ada kemungkinan DPR yang didominasi KMP akan menolak perppu ini. Ketidakpastian semakin bertambah yang semakin berdampak negatif pada perekonomian.

Sistem politik Indonesia resminya adalah presidensial. Namun, peranan DPR kuat dalam ikut menentukan kebijakan pemerintah. Jika pemerintah eksekutif selalu bertentangan dengan DPR, kebijakan ekonomi akan terhambat. Tambahan lagi, peran pemerintahan daerah juga besar dalam masa desentralisasi ini. Jika KMP menguasai juga pemerintahan daerah, kemungkinan kebijakan pemda tidak akan searah dengan kebijakan pemerintah pusat.

Kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK juga akan menentukan reaksi pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi menghendaki kabinet diisi oleh profesional independen. Tetapi, realitas politik menghendaki diakomodasikannya kekuatan politik di dalam kabinet. Jokowi-JK berjanji 18 menteri, terutama di bidang ekonomi, adalah profesional dan 16 menteri dari koalisi partai politik. Belum jelas siapa saja yang akan duduk dalam kabinet ekonomi.

Apakah partai politik di luar KIH akan masuk dalam kabinet, masih menjadi tanda tanya besar. Jika tidak diakomodasi, DPR dikuasai KMP dan kabinet dikuasai KIH. Dalam keadaan seperti ini, sulit kebijakan pemerintah akan efektif.

Sementara itu, tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi dalam bidang ekonomi sangat berat. Revisi APBN 2015 harus dilakukan, terutama berkaitan dengan subsidi BBM yang sudah terlalu besar, sebesar Rp 274 triliun. Pilihan selain menaikkan harga BBM praktis tidak ada. Biasanya reaksi sosial-politiknya besar terhadap kenaikan harga BBM ini, baik dari politikus maupun masyarakat yang menolaknya.

Tantangan selanjutnya adalah merealisasikan kebijakan yang akan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK, yaitu infrastruktur, pangan, dan energi. Untuk itu, dibutuhkan keikutsertaan investor dalam dan luar negeri yang bersedia menanamkan investasinya dalam jumlah besar. Namun, jika pertentangan politik dan ketidakpastian tinggi, investor tentu akan menunggu sampai keadaan stabil dan lebih baik.

Kita mengharapkan perseteruan politik dapat diselesaikan dengan baik sehingga tercipta kestabilan politik yang mendukung bagi perkembangan ekonomi. Koalisi politik tentunya tidak berbentuk transaksional yang hanya memenuhi kepentingan politikus yang terlibat, tetapi mengorbankan kepentingan bersama.

Jika perseteruan politik terus berlangsung, kita harus bersiap-siap dengan akibat ekonomi yang terus melemah. Keadaan yang mengkhawatirkan adalah pada saat penurunan ekonomi terjadi bersamaan dengan konflik politik yang meningkat, sementara keadaan eksternal juga tidak mendukung. Perseteruan politik berpotensi risiko yang tinggi. Karena itu, elite politik sebaiknya mempertimbangkan hal ini dengan baik dan mencari jalan keluar yang lebih kooperatif demi untuk kepentingan kita bersama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement