Selasa 04 Nov 2014 12:00 WIB

Transportasi Jakarta yang tak Memihak Perempuan

Red:

Cathy, warga negara Australia, tak bisa melupakan pengalaman pahitnya saat naik Kereta Rel Listrik (KRL). Ia mengatakan mendapatkan pelecehan seksual ketika hendak berplesiran di Ibu Kota.  Saat itu, ia bersama teman prianya dan seorang pemandu naik KRL dari Stasiun Sudirman menuju Stasiun Jakarta Kota. Namun, karena tempat penuh, ia terpaksa duduk terpisah dengan pemandu dan teman prianya. Tak disangka, ketika itu dia melihat  satu pria merekam payudaranya yang terbuka dengan telepon genggam. Spontan, Cathy langsung mengangkat bajunya agar payudaranya tertutup.  Setelah tepergok, pelaku berpura-pura mengetik. "Saya lalu berdiri dan mempersilakan penumpang lain untuk duduk," kata dia, Senin (3/11).

Kasus serupa dialami juga penumpang lain, Dian Ratna. Ia menegaskan, KRL memang rawan pelecehan seksual dan pencopetan saat jam berangkat dan pulang kerja. Perempuan yang bekerja sebagai sales promotion girl itu mengaku, menjadi korban pelecehan seksual di KRL.

Dian mengisahkan, saat itu, penumpang di KRL sangat padat dan berdesak-desakan. Petugas penjaga pintu tidak terlihat. Ia berdiri di antara dua pintu otomatis KRL. Tiba-tiba, seorang pria memegang bagian dadanya.

Perempuan berusia 26 tahun itu mengaku, berteriak dan membentak pelaku. Para penumpang juga ikut membentak pelaku tindak seksual tersebut. Dian mengaku, tidak melaporkan kejadian tersebut kepada petugas KRL karena sedang terburu-buru.  "Sempat heboh di gerbong. Pria itu langsung diturunkan penumpang di stasiun berikutnya," ujar Dian yang bekerja di salah satu mal di Ciledug.

Sementara kasus berbeda dialami penumpang KRL lainnya, Dewi Sartika (30). Dewi kehilangan telepon genggamnya di dalam KRL saat berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama menuju Serpong Kota, Tanggerang Selatan.

Insiden yang dialami Cathy, Dian, dan Dewi merupakan cerminan buruknya kondisi kenyamanan dan keamanan  tranportasi di Ibu Kota Jakarta. Akhir Oktober lalu Thomson Reuters Foundation mengeluarkan hasil survei berisi peringkat kota dengan transportasi terburuk untuk wanita. Hasilnya,  Jakarta menempati posisi kelima di bawah Bogota sebagai  peringkat pertama, dan disusul Meksiko City, Lima serta New Delhi.

Survei bekerja sama dengan lembaga survei YouGov dan dilakukan terhadap 6.555 wanita serta ahli di 15 ibu kota negara terbesar di dunia. New York menempati posisi terakhir yakni peringkat 16.  Sementara Tokyo posisi 15, Beijing dan London berada di peringkat 14 dan 13.

Thomson Reuters Foundation mengatakan, survei tidak bisa dilakukan di lima kota besar lain seperti Kairo (Mesir), Dhaka (Bangladesh), Kinshasa (Kongo), Teheran (Iran), dan Baghdad (Irak) karena masalah izin serta ketidakmampuan lembaga survei YouGov mendapatkan responden wanita secara online. Setiap responden diberikan enam pertanyaan terkait seberapa aman mereka bepergian sendiri pada malam hari, risiko menerima gangguan verbal dari laki-laki, risiko gangguan fisik, kepercayaan terhadap penumpang lain jika adanya gangguan fisik maupun verbal serta kepercayaan terhadap pihak berwenang untuk menyelidiki laporan pelecehan seksual atau kekerasan.

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama mengaku tidak heran dengan urutan kelima yang diraih Jakarta sebagai kota dengan transportasi umum paling berbahaya untuk kaum wanita. Menurutnya, survei itu bisa menjadi pemicu untuk memperbaiki sistem transportasi di Ibu Kota.  "Bagus dong dengan survei seperti itu, jadi bisa dihitung kenapa bisa seperti itu," ujar Ahok, sapaan akrabnya di Gedung Balaikota DKI, Senin (3/11). "Makanya tahun depan mau kami perbaiki." Salah satu tranpsortasi di Jakarta yang menjadi sorotan selama ini yakni bus Transjakarta.

Direktur utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) ANS Kosasih menilai, moda transportasi Transjakarta masih lebih baik dari jenis angkutan lain.  Sebab, Transjakarta memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan.  Kosasih juga mengatakan, idealnya bukan hanya menyediakan bagian khusus yang disediakan untuk perempuan, namun juga bus khusus. Hal ini sedang diupayakan oleh PT Transjakarta.

Menurutnya, hasil penelitian itu adalah penilaian rata-rata dari semua variabel. Namun, dalam beberapa variabel lain, Jakarta masih lebih baik dari banyak negara lain.  "Misalnya (dalam pertanyaan) seberapa yakin Anda bahwa orang lain akan membantu apabila Anda dilecehkan di tempat transportasi publik? Jakarta itu enam terbaik loh," kata dia. Artinya, menurut Kosasih, apabila ada yang diganggu di dalam angkutan umum, orang-orang di sekitarnya akan membantu. Di Indonesia, hal ini sangat positif. Pasalnya, sanksi sosial dinilai oleh Kosasih akan lebih berdampak ketimbang bentuk sanksi lainnya.

Berdasarkan survei, 85 persen wanita di Paris ragu sesama penumpang akan menyelamatkan mereka jika ada masalah.  Di Moskow, responden mengaku sedikit pesimistis pihak berwenang akan menyelidiki laporan pelecehan. Sementara Su-Ah Lee dari Seoul mengatakan, ia melihat seorang pria mabuk menggoda wanita dengan rok mini di stasiun kereta bawah tanah. Ironisnya tidak ada satu pun orang di situ yang menyela. ''Calon penumpang lain hanya melihat. Pria itu terlihat berbahaya jadi mereka tidak mau terlibat,'' kata Lee pada Thomson Reuters Foundation. ''Aku melihatnya, aku ingin membantu tapi juga tak mau terlibat,'' kata dia.

Kepala kebijakan di Forum Transportasi International, Mary Crass mengatakan, hasil survey ini sangat mengkhawatirkan karena wanita jadi takut menggunakan transportasi publik di sebagian besar kota. Tokyo menjadi negara kedua setelah New York yang dinilai aman dalam sistem transportasi publik untuk wanita. Tokyo telah menerapkan beberapa solusi. Di antaranya pengadaan kereta khusus perempuan pada tahun 2000 yang diberi warna merah muda. Mereka juga memperkuat kapolisian untuk menguatkan peraturan n c02/c62/c66 ed: teguh firmansyah

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement