Senin 31 Aug 2015 13:00 WIB

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri: Kita Perlu Trust and Confidence

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Banyak spekulasi tentang gejolak pasar uang dan pasar modal beberapa waktu terakhir. Direktur Utama PT Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin meyakini krisis saat ini tak seburuk 2008, apalagi 1998. Apa sebenarnya yang berperan penting dalam krisis saat ini? Berikut petikan diskusi redaksi Republika dengan Budi Sadikin, akhir pekan lalu.

Bagaimana kondisi perekonomian Indonesia saat ini?

Secara umum ini siklus krisis lagi. Indonesia sering dilanda krisis. Saya sendiri mengalami beberapa kali krisis. Kalau saya lihat, folatilitas industri finansial di Indonesia itu tinggi.

Itu jeleknya, tapi ada bagusnya. Indonesia mempunyai bankir, gubernur bank sentral, menteri keuangan, dan pengusaha dengan pengalaman paling banyak. Orang-orang ini sekarang masih hidup dan bertahan melakukan pekerjaan yang sama. Kalau di negara lain, siklus krisisnya panjang. Orang yang mempunyai pengalaman menghadapi krisis bisa jadi sudah berhenti bekerja atau sudah mati.

Ketika krisis lagi, yang menghadapi sudah orang baru. Kita sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi kondisi seperti ini. Jadi kita lebih pahamlah bagaimana menghadapinya. Toh, kita survive juga.

Dibanding krisis sebelumnya, bagaimana kondisi sekarang?

Saya merasa tahun 2008 masih lebih parah. Cuma kadang orang kalau enggak punya data, suka lupa. Contoh paling umum, data gross domestic product (GDP). Seingat saya, pada 2008, GDP kita 6,2 persen. Pada 2009, karena tahun sebelumnya krisis, GDP kita turun menjadi 4,5 persen. Kalau dibandingkan sekarang, GDP kita 6 persen, turun ke 4,7 persen. Terakhir saya lihat masih 4,6 persen. Kalau dilihat dari angkanya, tidak seburuk 2009. Itu kalau dari GDP.

Dari harga saham, bisa dilihat di Jakarta Stock Exchange Index. Seingat saya tahun 2008/2009 turunnya hampir 60 persen. Sekarang dari harga 5.000 menjadi 4.100, paling 20 persenlah. Dulu saja kita selamat, masak sekarang kita enggak selamat?

Khusus perbankan bagaimana?

Khusus perbankan, seingat saya dulu non-performing loan (NPL) perbankan 4 persen naik menjadi 5 persen. Saya ingat Bank Mandiri naik dari 4 persen ke 5 persen. Sekarang NPL Bank Mandiri mulai dari 1,8 persen. Kemarin 2,2 persen. Kan jauh.

Modal Mandiri dulu itu 12 persen CAR-nya. Modal itu melambangkan kemampuan dia untuk absorb losses kalau ada kredit macet. Sekarang modal Mandiri 17 persen. Jadi, kalau ada gonjang-ganjing, Mandiri masih punya Rp 100 triliun di modal.

Likuiditas dulu ketat sekali. Tahun 2008 enggak ada rupiah. Dulu tidak ada dolar sama sekali, sekarang dolarnya kebanyakan. Kita bingung mau taruh mana. Kalau 2008 banyak perusahaan survive, masak sekarang enggak survive? Sekarang memang kondisinya kurang baik, tapi kita sudah punya pengalaman. Jika dibandingkan dengan dulu, kondisi sekarang relatif lebih baik.

Krisis saat ini dominan di sektor apa?

Sekarang rata. Ya makanan, semen, mobil, tisu, tekstil, properti, semua rata.

Karena faktor apa?

Kalau saya lihat, demand. Daya beli masyarakat.

Dibanding 2008, bagaimana spending kita?

Kalau saya lihat, pertumbuhan GDP kan macam-macam. Ada yang dari spending, ada yang dari income. Kalau dari spending, saya melihat consumer spending agak turun. Kalau menurut makroekonomi, apabila consumer spending turun, government spending harus dinaikkan agar GDP juga naik. Tapi, dana dari kementerian banyak yang belum dikeluarkan. Jadi, uang ada, tapi enggak gross.

 

Seberapa kuat government spending bisa membantu?

Itu membantu, tapi menurut saya enggak cukup. Saya bilang terlalu banyak masalah ekonomi diberesi dari sektor fiskal dan moneter. Menurut saya, justru yang diperbaiki itu seharusnya sektor riilnya. Jadi saya bilang benar sih, tapi bukan hanya infrastruktur, tapi struktur industri juga.

Padahal, di Indonesia matahari banyak banget, masak kita harus impor jagung dari Australia. Struktur industri mesti kita perbaiki supaya kita tidak terlalu bergantung pada impor.

Langkah OJK dan BI apakah sudah benar?

Melihat kondisi makroekonomi Indonesia yang terus membaik, arahnya sudah benar. Apakah sudah 100 persen sempurna, menurut saya belum. Tapi, aturan yang mereka keluarkan sudah benar. Buktinya, makronya membaik.

BI kan paling babak belur. Kalau saya bilang, yang dilakukan sudah banyak tapi psikologisnya sedang tidak bagus. Confidence-nya rendah. Pengusaha semuanya pesimistis. Itu menurut saya, jadi psikologinya harus dibalik.

Apakah sekarang sudah bisa disebut krisis?

Ini attitude. Kenapa 2008 kita selamat tapi 1998 tidak selamat? Tahun 1998, kita sudah demam. Tapi, karena kita merasa sehat, kita lari-lari terus hujan-hujanan. Kolaps, masuk rumah sakit. Pada 2008, ketika kita demam, kita membatasi. Istirahat dulu, minum obat. Cepat sembuhnya. Menurut saya, balik lagi yang realistis. Kalau enggak, trust dan confidence masyarakat menjadi hilang.

Pengaruh eksternal?

Kondisi eksternal 2008 lebih hancur. Sekarang saya katakan eksternal hancur. Tapi, Indonesia itu ekonomi domestiknya besar. Kita tidak lebih bergantung daripada Thailand, Malaysia, dan Singapura. Jadi, seharusnya kita bisa lebih baik dari mereka.

Menurut saya, kita punya banyak orang yang melakukan hal baik tapi tidak banyak yang bisa menyampaikannya kepada investor. Itu sebabnya wartawan dan investor perlu diundang. Kalau tidak, orang-orang akan pesimistis.

Seburuk apa kondisi saat ini?

Ya enggak bagus, cuma enggak jelek-jelek amat. Kenapa ramai sekali? Setelah saya lihat, karena memang trust and confidence-nya enggak ada. Saya ditanya, kenapa exchange rate lari-lari seperti ini? Saya ambil simpulan, yang namanya exchange rate itu ada dua penyebab. Kurs itu ada satu isu yang technical, yaitu real effective exchange rate. Ada lagi isu yang sifatnya emosional atau psikologis.

Jadi, ini masalahnya psikologis dan emosional, jangan diberi treatment technical. Kalau dilihat secara teknis sudah bagus semua. Ada yang kurang mungkin di defisit neraca berjalan. Bulan lalu inflasi kita tinggi, tapi inflasi November atau Oktober pasti turun di bawah lima persen karena year on year kan turun. Trade balance yang tadinya negatif sekarang positif kok.

Inflasi turun, kok tetap gede? Itu tadi mikirnya masih terlalu technical. Sekarang masalahnya emosional.

Apa penyebab trust and confidence ini turun?

Itu mesti lihat survei. Tapi secara umum, saya melihat ini lebih pada kondisi ekonomi negara. Mereka enggak optimistis. Itu terasa sekali.

Cara membangun trust and confidence?

Saya bilang ke Pak Jokowi, ini obatnya enggak bisa yang technical. Ini obatnya mesti psikologis. Apa tuh? Jangan panggil para ekonom, tapi panggil orang-orang sosial-politik. Contohnya, panggil para pemred, investor, pengusaha.

Trust and confidence itu prinsipnya apa? Don't promise but overdeliver. Jadi, kalau promise mesti deliver. Kalau enggak begitu, orang enggak percaya. Yang realistis saja, jangan overpromise. Kalau overpromise, undelivered, people would not trust you. The confident will not be there.

Jadi itu tadi, obatnya harus psikologis. Bukan dengan segala yang teknis-teknis. Tapi dengan komunikasi, terbuka, transparan, realistis. Dan ini kan rumah kita bersama.

Kapan situasi ini akan berakhir?

Kemarin saya ditanya, kapan NPL turun? Mudah-mudahan pertengahan tahun depan. Kenapa? Karena inflasi turunnya kan akhir tahun. Jadi, mudah-mudahan tahun depan lebih longgar. Kemudian government spending tahun ini jalan. Kalau tahun ini berakhir, saya rasa enggak jalan. Realistis itu tadi, ya. ed: Nur Hasan Murtiaji

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement