REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Alhamdulillah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-9 pada 24 hingga 27 Agustus lalu di Surabaya. Munas ke-9 MUI telah melahirkan berbagai fatwa dan rekomendasi yang berkaitan dengan permasalahan umat yang aktual dan perlu mendapatkan perhatian kita bersama. Selain itu, dalam munas tersebut telah dipilih para pengurus MUI periode 2015-2020.
Kita tentu berharap MUI akan semakin berperan aktif dalam memberikan arahan pada kehidupan umat dalam berbagai macam bidang kehidupannya, sekaligus memberikan panutan dan keteladanan, baik bagi para penguasa maupun umat secara keseluruhan. Para ulama adalah kelompok orang yang ikut menentukan baik-buruknya suatu bangsa. Jika ulama memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi serta akhlaqul karimah maka penguasa dan umat secara keseluruhan juga akan menjadi baik. Sebaliknya, jika ulama rusak (banyak ulama su') maka akan rusak pula penguasa dan bangsanya.
Dalam kitab Ihya' Ulumiddin, Imam al- Ghazali menulis: "Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasa; dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama; dan kerusakan ulama disebabkan oleh karena cinta harta dan cinta kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat, apalagi penguasanya."
Kitab Ihya' Ulumiddinmenjadi saksi sejarah yang penting bagaimana peranan ulama dalam kebangkitan umat Islam pada zaman Perang Salib, sebagaimana diungkapkan Dr Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza `Adat al-Quds. Ketika kekuasaan politik dan kemajuan teknologi yang dimiliki umat Islam tidak mampu lagi menahan keterpurukan, mereka dijajah dan ditindas, bahkan Kota Yerusalem pun jatuh ke Pasukan Salib (1099 M). Para ulama yang dimotori oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan lain-lain berhasil membangun madrasah sebagai kekuatan sentral untuk melahirkan generasi baru yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin.
Di Indonesia pun (Adian Husaini: 2015) sejarah telah menunjukkan peranan sentral para ulama dalam melawan penjajahan dan mempertahan - kan serta mengisi kemerdekaan. Bahkan, perumusan Konstitusi Negara RI, UUD 1945, yang memberikan penegasan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid), juga pentingnya kemanusiaan dibangun di atas landasan konsep adil dan beradab, serta rakyat yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan, sampai tujuan mewujudkan keadilan sosial, tak lepas dari peran para ulama, seperti KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Begitu juga ketika penjajah akan kembali lagi, para ulama di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa: wajib hukumnya mem pertahankan kemerdekaan Indonesia. Tentunya terlalu banyak jika disebutkan satu per satu, peranan ulama dalam mengawal perjalanan NKRI sehingga menjadi "baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur". Bahkan, sejak berdiri pada 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan representasi dari para ulama di Indonesia telah memainkan peran penting dalam mengawal kekuasaan dan membina masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini pun, keberadaan dan peranan MUI semakin menunjukkan peran yang strategis di tengah umat dan bangsa.
Akan tetapi, sejalan dengan itu, tantangan yang dihadapi para ulama (baca: MUI) pun semakin berat. Tentu kita harapkan, ke depan, MUI bisa semakin memperkuat peranannya sehingga posisinya semakin kokoh dan peranannya semakin dirasakan oleh umat dan bangsa Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan MUI dalam mengawal umat dan bangsa Indonesia:
Pertama, MUI perlu meneguhkan jati dirinya sebagai "organisasi ulama waratsatul anbiya" yang memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal perjalanan umat Islam dan bangsa Indonesia ke depan menuju baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur. Amanah ulama ini sangat berat sehingga perlu dilaksanakan dengan sungguh- sungguh.
Kedua, ulama dan khususnya pengurus MUI harus memiliki ilmu pengetahuan keagamaan yang mendalam yang membedakannya dengan masyarakat biasa. Dengan ilmu pengetahuan nya yang mendalam disertai dengan ketakwaannya yang tinggi, ulama akan menjadi tempat bertanya masyarakat dalam berbagai macam bidang kehidup an. Perhatikan QS Asy- Syu'ara [26] ayat 197 dan QS Fathir [35] ayat 28. Para ulama harus memberi contoh untuk terus-menerus belajar sebagaimana para ulama salafus shalih terdahulu. Diskusi dan dialog secara lisan maupun tulisan yang terjadi pada masa lalu tersebut telah membangun khazanah keilmuan yang sangat berharga dan sangat tinggi nilainya.
Ketiga, MUI perlu memberikan perhatian khusus pada program kaderisasi ulama, dengan melakukan penjaringan kader-kader muda yang potensial di berbagai lembaga pendidikan. Pendidikan ulama yang terbaik adalah melalui pembelajaran langsung secara individual kepada ulama-ulama terkemuka di dunia (mulazamah) sehingga ke depan kualitas ulama Indonesia semakin meningkat dan disegani dalam tataran internasional.
Keempat, MUI perlu meningkatkan peranannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dunia internasional, khususnya yang menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia. Setidaknya, MUI bersama ulama-ulama lain di Indonesia memberikan masukan kepada Pemerintah RI agar meningkatkan keaktifannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam di dunia inter nasional, seperti masalah Palestina, Rohingya, Kashmir, Pattani, Moro, dan sebagainya.
Kelima, MUI perlu merumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi untuk menentukan konsep pembentukan insan-insan Muslim yang ideal ke masa depan.
Konsep Ma'had Aly yang sudah diakui sebagai salah satu bentuk Pendidikan Tinggi dalam UU No 12/2012 perlu dijabarkan bersama Kementerian Agama agar pendidikan tinggi tidak semata-mata diarahkan untuk membentuk pekerja industri, tetapi untuk membentuk manusia-manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan profesional. Dalam bidang pendidikan ini pula, MUI perlu mengontrol dan memberi masukan kepada pemerintah agar buku-buku ajar di sekolah- sekolah benar-benar tidak bertentangan dengan ajaran dan konsep keilmuan dalam Islam.
Keenam, patut disyukuri bah wa selama ini peran MUI dalam mengawal isi media massa, khususnya televisi sudah dirasakan umat Islam. Untuk meningkat kan peran MUI dalam hal "mengawal media massa", perlu juga dilakukan monitor dan bimbingan terhadap media online Islam sehingga media-media itu semakin berkualitas isinya. Sebab, mereka saat ini memainkan peranan yang penting dalam mengarahkan pola pikir umat Islam. Media-media yang memuat isi-isi yang ekstrem, baik ekstrem fundamentalis maupun ekstrem liberal, perlu diingatkan oleh MUI.
Ketujuh, guna meningkatkan kemandirian MUI maka perlu meningkatkan kerja sama dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk melakukan penggalangan dana umat bagi kepentingan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan. Kita berharap dengan langkah-langkah strategis tersebut peran strategis ulama, khususnya MUI, akan semakin dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Wallahu a'lam bish-shawab.
OLEH Prof Didin Hafidhuddin