Senin 22 Sep 2014 13:00 WIB

Keluarga Korban MH17 Gugat Ukraina

Red:

BERLIN — Keluarga korban maskapai penerbangan Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 akan menggugat Ukraina. Pesawat MH17 jatuh di Ukraina diduga karena tembakan rudal kelompok separatis yang menguasai wilayah timur negara itu.

Profesor hukum penerbangan Elamr Giemulla akan mewakil keluarga korban asal Jerman. Menurut dia, berdasarkan hukum internasional, Ukraina mestinya menutup wilayah udaranya kalau tak bisa menjamin keamanan penerbangan.

"Setiap negara bertanggung jawab atas keamanan wilayah udara masing-masing," ujar Giemulla, Ahad (21/9). Ia memandang Presiden Ukraina Petro Poroshenko sebagai pembantai. Sebab, sang presiden mengabaikan keselamatan 298 orang yang ada di dalam pesawat.

Namun, Ukraina tak memberlakukan larangan terbang. Ini berarti, kata Giemulla, mereka membahayakan hidup ratusan orang tak berdosa. Dengan demikian, mereka telah melanggar hak asasi manusia. Pesawat MH17 jatuh pada 17 Juli 2014.

Sebanyak 298 orang yang berada dalam pesawat kehilangan nyawa. Dua pertiga dari mereka merupakan warga negara Belanda. Empat warga Jerman ikut tewas dalam insiden itu. Ukraina dan Barat menuding separatis dukungan Rusia yang bertanggung jawab.

Apalagi, rudal yang menghantam pesawat tersebut buatan Rusia. Giemulla akan menyerahkan gugatan ke Pengadilan HAM Eropa dalam kurun dua pekan ini. Selain menuding Presiden Poroshenko membantai para penumpang, ia juga meminta ganti rugi.

Surat kabar Jerman, Bild am Sonntag, melaporkan ganti rugi yang Giemulla minta adalah 1,3 juta dolar AS untuk setiap korban. Di sisi lain, Malaysia Airlines hingga kini menawarkan ganti rugi untuk setiap korban sebesar 5.000 dolar.

Sementara, Ukraina dan oposisi menyepakati terbentuknya zona penyangga, Sabtu (20/9). Mereka juga mengupayakan penarikan senjata berat. Mantan presiden Ukraina yang mewakili Kiev, Leonid Kuchma, mengatakan, memorandum kesepakatan segera dilaksanakan.

Menurut dia, masing-masing pihak harus menarik mundur artilerinya sejauh 15 km. Mereka harus mendirikan zona penyangga selebar 30 kilometer. Pesawat tempur tak boleh terbang melintasi wilayah konflik yang ada di bagian timur Ukraina.

Pemimpin oposisi di Luhansk, Igor Plotnistky, menyatakan, ini memberi kesempatan bagi warga sipil merasakan situasi yang aman. Para tentara bayaran pun harus ditarik. Dubes Rusia untuk Ukraina Mikhail Zubarov menyatakan, kedua belah pihak memanfaatkan tentara bayaran.

Utusan Eropa dalam pembicaraan itu, Heide Tagliavini, menginginkan adanya pemantau khusus di zona penyangga. Dengan demikian, tak akan ada pelanggaran pada kemudian hari, baik oleh Ukraina maupun pasukan bersenjata separatis.  rep:gita amanda/ap/reuters ed: ferry kisihandi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement