REPUBLIKA.CO.ID, Berita koran Yomiuri edisi Senin (23/3) cukup mengejutkan. Harian Jepang ini memuat wawancara terbaru mereka dengan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengenai Laut Cina Selatan.
"Nine dash line yang disebut oleh Cina sebagai batas mereka tidak memiliki landasan hukum dalam undang-undang internasional manapun," ujar Jokowi dalam kunjungannya ke Jepang. Namun, esoknya, yaitu Selasa (24/3), Jokowi menegaskan bahwa Indonesia lebih mendorong pada pelaksanaan code of conduct atau tata cara berperilaku yang disepakati.
"Perlu saya sampaikan bahwa Indonesia tidak berada pada pihak yang bersengketa di situ. Kita hanya ingin mendorong agar code of conduct (CoC) itu bisa diimplementasikan dan ada finalisasi," ujar Jokowi yang dimuat kantor berita Antara.
Presiden menegaskan, kalau memang diperlukan, Indonesia siap menjadi mediator yang baik terkait sengketa Laut Cina Selatan itu. "Kalau memang diperlukan, kita siap menjadi mediator yang baik. Saya hanya menyampaikan itu saja," ujarnya.
Pernyataan pertama Jokowi yang dimuat Yomiuri memang mengejutkan. Selama ini, Indonesia tak pernah menyentuh pihak manapun yang terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan. Sikap Indonesia selalu memilih sejalan dengan ASEAN, yaitu sebatas meminta semua pihak yang bertikai untuk menahan diri dan mematuhi CoC.
Mengapa ASEAN terlibat? Karena, empat dari enam negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan adalah anggota ASEAN. Empat negara tersebut adalah Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan dua negara lainnya adalah Cina dan Taiwan. Namun, Indonesia kerap menyampaikan sikapnya mengenai konflik Laut Cina Selatan. Salah satu alasannya, Indonesia termasuk pendiri ASEAN yang kadang dituakan di kalangan organisasi regional tersebut.
Duta Besar Indonesia untuk ASEAN, Rahmat Pramono, pernah menyatakan kepada BBC Indonesia edisi 13 November 2014. "Negara-negara yang terlibat konflik Laut Cina Selatan selalu ingin supaya Indonesia ikut serta karena dengan kehadiran Indonesia mereka lebih percaya bahwa Cina akan lebih memberi perhatian."
"Peran ini akan terus kami mainkan bahwa kami akan terus berperan dalam penyelesaian isu-isu apa pun, apalagi dalam isu-isu yang ada sekarang ini, seperti masalah Laut Cina Selatan," kata Rahmat. Tulisan ini menyajikan sekilas kisah tentang konflik di wilayah Laut Cina Selatan.
Gugusan Pulau Sumber Konflik
Laut Cina Selatan yang dipersengketakan ini mencakup wilayah seluas 3.685.000 kilometer per segi. Di wilayah ini terdapat dua gugus pulau, yaitu Paracel dan Spratly. Selain pulau, kawasan ini juga memiliki puluhan gugus batu tak berpenghuni, sejumlah atol, pantai pasir, serta karang, seperti Scarborough Shoal—Cina menyebutnya Pulau Huangyan.
Secara geografis, Laut Cina Selatan berada di wilayah barat Samudra Pasifik dan berbatasan dengan Asia Tenggara. Enam negara yang berebut wilayah ini memiliki batasan klaim masing-masing. Klaim terluas datang dari Cina, dengan batas negara yang disebut nine dash line atau sembilan garis putus-putus.
Wilayah yang diklaim Cina ini membentang ratusan kilometer ke arah selatan dan timur, terhitung dari provinsi Hainan yang berada di Cina paling selatan. Menurut Beijing, kawasan itu sudah menjadi bagian dari Cina selama 2.000 tahun. Gugusan pulau Paracel dan Spratly termasuk dalam wilayah yang diklaim Cina.
Pada 1947, Cina mengeluarkan peta yang memerinci klaimnya. Kedua gugus pulau tersebut dimasukkan seluruhnya ke dalam peta Cina. Klaim ini tumpang-tindih dengan klaim Taiwan.
Menurut laman BBC, Vietnam kemudian menentang klaim sejarah Cina. Menurut Vietnam, Cina tidak pernah mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut sebelum 1940-an. Dengan kata lain, Vietnam menentang klaim yang merentang ke 2.000 tahun silam. Vietnam mengaku sudah secara aktif menguasai Paracel dan Spratly sejak abad ke-17. Negara Indocina ini bahkan mengaku memiliki dokumen yang membuktikan kepemilikannya.
Klaim juga datang dari Filipina. Negeri ini mengklaim dengan titik utama di gugusan Kepulauan Spratly yang lokasinya memang terdekat dengan Filipina. Baik Cina maupun Filipina sama-sama mengklaim Scarborough Shoal alias Pulau Huangyan. Lokasinya sekitar 160 kilomenter dari Filipina dan lebih dari 800 kilometer dari Cina.
Malaysia dan Brunei juga mengklaim bahwa sebagian Laut Cina Selatan berada dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mereka, sebagaimana yang digariskan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Brunei tidak mengklaim pulau manapun di kawasan ini. Namun, Malaysia mengklaim sejumlah pulau di gugusan Spratly.
Penyelesaian Konflik
Selama bertahun-tahun Cina cenderung memilih kesepakatan bilateral tertutup dengan lawan-lawannya dalam berebut Laut Cina Selatan. Sebaliknya, sejumlah negara lebih menghendaki penyelesaian dengan mediasi dunia internasional. Bahkan, menurut laman BBC, upaya ASEAN untuk ikut menyelesaikan konflik malah membuat organisasi ini lebih terpecah soal Laut Cina Selatan.
ASEAN menyusun code of conduct pada 4 November 2002 yang ditandatangani wakil dari negara ASEAN dan Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi. Poin utama CoC adalah meminta seluruh pihak untuk saling menahan diri agar tidak mempertajam pertikaian dan mengutamakan dialog.
CoC meminta pihak-pihak bertikai agar tidak melakukan penempatan di Laut Cina Selatan, kecuali jika pihak-pihak tersebut sepakat untuk bekerja sama. Kerja sama yang dimungkinkan, misalnya, perlindungan lingkungan laut, riset, keselamatan navigasi dan komunikasi di laut, operasi pencarian dan penyelamatan (SAR), memerangi kejahatan lintas negara, termasuk perdagangan narkoba, perompakan, perampokan bersenjata, dan penyelundupan senjata.
Namun, CoC tersebut tampaknya hanya sebatas retorika. Serangkaian konflik antarnegara yang mengklaim Laut Cina Selatan tak terhindarkan. Salah satu insiden yang dilaporkan harian the Washington Post mencontohkan, Filipina dan Cina sempat mengalami ketegangan militer pada awal 2012 kedua pihak saling tuding melanggar kedaulatan di Scarborough Shoal.
Pada Juli 2012, Cina membangun Kota Sansha, badan pemerintahan daerah yang memilih Paracel sebagai pusat kota. Lembaga pemerintahan ini bertugas mengawasi wilayah yang diklaim Cina di Laut Cina Selatan, termasuk Paracel dan Spratly. Langkah ini mengundang protes dari Vietnam dan Filipina.
Februari tahun ini, Cina diberitakan melakukan manuver dengan melakukan reklamasi besar-besaran dan pembangunan di gugus karang Kepulauan Spratly. Pencitraan satelit menunjukkan reklamasi tepatnya dilakukan di Karang Cuarteon yang juga diklaim Filipina. Para pekerja tapak membangun pelabuhan laut, depot penyimpanan bahan bakar, dan landasan kapal terbang di lokasi reklamasi.
Cina menolak semua protes diplomatik dari Filipina dan Vietnam. Menanggapi kritik dari Amerika Serikat, Cina menjawab bahwa pembangunan itu “dilakukan di wilayah kedaulatan Cina”. Oleh Yeyen Rostiyani reuters/ap
Gugusan Pulau yang Kaya Sumber Daya
Kepulauan Paracel dan Spratly diyakini memiliki cadangan gas dan minyak bumi berlimpah. Namun, menurut laporan harian the Washington Post pada 2012, data cadangan energi di Laut Cina Selatan masih sebatas perkiraan. Perkiraan yang dilakukan masih sebatas dengan membandingkan lokasi ini dengan kandungan sumber daya di kawasan terdekat.
Cina sebagai pengklaim dengan wilayah terluas di Laut Cina Selatan, memang tak malu-malu lagi melangkah. Mereka bahkan sudah membangun penambangan lepas pantai di lokasi yang diklaim.
Cina memang haus akan energi. Negeri ini mengimpor separuh dari keperluan energinya. Bahkan, lembaga energi internasional di Paris memperkirakan, dalam seperempat abad ini, kebutuhannya akan energi diperkirakan dua kali lipat.
the Washington Post menulis, klaim Cina tak sebatas klaim wilayah teritorial, namun juga untuk masa depan ekonomi, strategis, dan militer negara ini. Untuk militer misalnya, Cina memerlukan Laut Cina Selatan untuk pangkalan Armada Laut Selatan. Cina diyakini sedang membangun rudal antikapal yang suatu hari akan dapat menenggelamkan kapal induk AS.
Menurut BBC, poin penting lain yang menunjukkan peran Laut Cina Selatan adalah dalam lalu lintas laut dan kekayaan maritimnya. Laut Cina Selatan memang kawasan yang kaya sumber daya. reuters/ap ed: Yeyen Rostiyani