DAMASKUS -- Sebuah video yang menunjukkan situasi di pasar di Damaskus menjadi perbincangan. Meski video berlangsung kurang dari satu menit dan tidak memiliki komentar atau ucapan, telah ditonton lebih dari 200 ribu kali dalam empat hari setelah diunggah di media sosial.
Video tersebut menunjukkan cengkeraman lain di negeri Suriah selain berbagai serangan mematikan perang saudara yang terjadi. Video tersebut menunjukkan naiknya harga buah, sayuran dan produk lainnya yang memunculkan reaksi sedih dan komentar marah di bawah kolom komentar.
Ini bukan satu-satunya contoh penderitaan di media sosial selama harga pangan meroket. Diberitakan dari laman BBC, sebuah akun Facebook propemerintah yang disebut The Diary of a Mortar Shell in Damascus mencatat grafik perbandingan harga pangan saat ini dengan harga pangan saat Ramadhan tahun lalu.
Grafik yang telah dibahas dan dibagikan netizen menunjukkan, harga beberapa sayuran saat ini lima kali lebih mahal. Misalnya, satu kilogram lemon dihargai 125 pounds Suriah (SYP) Juni lalu dan melejit menjadi 700 SYP.
Gaji pegawai negeri sipil adalah sekitar 45 dolar AS, setelah devaluasi mata uang yang dramatis pada awal bulan ini. Tapi setidaknya, di Damaksus, makanan mahal mungkin lebih menyakitkan daripada di beberapa daerah yang dikuasai pemberontak di blokade rezim Assad. Lembaga bantuan melaporkan, warga sipil telah meninggal karena kelaparan di daerah yang dikepung pemerintah.
Bagi orang-orang yang tinggal di Damaskus, kenaikan harga pangan menjadi perhatian khusus menjelang Ramadhan. Selama Ramadhan, mayoritas Muslim berpuasa sepanjang hari hingga matahari terbenam. Secara tradisional, kesempatan bulan ini juga memiliki dimensi sosial dengan keluarga dan teman-teman bertukar kunjungan dan mempersiapkan berbagai hidangan untuk tamu.
"Biasanya, kami akan menempatkan kotak permen di atas meja dan menawarkan para tamu untuk mengambil lebih banyak," kata seorang wanita. "Tapi sekarang, Anda hanya menawarkan piring dengan satu atau dua permen, itu jika kita berhasil membeli kotak di tempat pertama," lanjut dia.
Tanggapan netizen
Dalam komentar di bawah postingan perbandingan harga tersebut, banyak orang menyalahkan pedagang yang mengambil keuntungan dari devaluasi dan konflik yang sedang berlangsung.
"Cukup, pedagang! Anda tidak takut Allah," tulis salah satu pengguna Facebook. "Hentikan kompilasi uang, Ramadhan mendekat jadi kasihanilah orang-orang, mereka sudah cukup memiliki masalah,".
Sentimen ini juga memunculkan halaman Facebook yang disebut "Boycotters" yang didirikan oleh konsumen. Mereka ingin memprotes dugaan pencatutan oleh penjual makanan. Tujuan halaman tersebut adalah mendorong konsumen untuk tidak membeli barang-barang impor selama satu pekan. Meski 35 ribu orang mengaku telah berpartisipasi dalam aksi boikot, tidak jelas apakah aksi akan sukses.
Warga Suriah juga telah menyalahkan pemerintah karena tidak membatasi kenaikan harga di pasar. "Kinerja pemerintah Suriah benar-benar memalukan, dolar AS akan mencapai seribu SYP dan harga selangit, gaji masih sama. Setiap pemerintah yang tidak merasakan rakyatnya adalah kotor dan korup, dan itu harus mundur," kata seorang netizen.
Untuk mengatasi kenaikan harga, penduduk berusaha melakukan penghematan besar. Seperti yang dilakukan seorang wanita pensiunan yang tinggal di Damaskus bersama suaminya. Ia masih membeli makanan pokok, tetapi dengan beberapa langkah penghematan. Ia membeli jumlah yang lebih sedikit, memilih jenis sayuran yang lebih murah.
Penghasilan pasangan pensiunan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kehidupan mereka sehingga melakukan pekerjaan paruh waktu. Saat ini, wanita tersebut khawatir potensi kenaikan perampokan dan kejahatan karena orang-orang perlu mendapatkan makanan bagi keluarga mereka.
Seorang ibu muda dari Damaskus mengatakan, beberapa tetangganya tidak memiliki daging dalam waktu lama. "Bahkan hidangan tradisional kacang, yang disebut 'daging si miskin', menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang," ujar dia.
Di Damaskus, sangat beragam kelompok dengan kapasitas ekonomi yang sangat berbeda; pengungsi yang tinggal di penampungan atau di tempat rumah sewa, pensiunan, PNS, pengangguran, wiraswata dan sejumlah staf PBB dan LSM.
Beberapa melihat masa depan yang suram bagi mereka yang memiliki sedikit uang atau bahkan menganggur. Ia mengatakan, lebih baik bagi orang-orang tersebut untuk mati daripada hidup dalam kondisi seperti ini.
Komentator lain membuat perkiraan berat dengan nada sarkasme.
"Kita harus bahagia karena harga (makanan-red) ini lebih baik daripada Ramadhan 2017," katanya. rep: Melisa Riska Putri, ed: Yeyen Rostiyani