Ahad 21 Sep 2014 17:00 WIB

Kebun Teh, KF Holle,dan Stasiun Cikanjang

Red: operator

Catatan Hindia Belanda, sedikitnya ada delapan keluarga pengembang perkebunan Priangan.

Awalnya tak terbetik rencana mene lu suri perkebunan teh di Cikajang. Sebuah daerah 18 kilometer ke arah Gunung Cikuray di selatan Garut. Cikajang merupa kan daerah layaknya pelana, berada di lengkungan antara Gunung Cikuray dan Papandayan. Daerah ini didominasi perbu kitan hijau. Udaranya sejuk mirip di da taran tinggi Pangalengan.

Keindahan alamnya menggugah saya untuk menghubungi Antoni Holle, sahabat lama yang merupakan salah satu keturunan Karel Frederik Holle (1829-1896). KF Holle merupakan nama tersohor di Garut, terlebih di daerah Cikajang.

 

 

 

 

 

 

 

 

Stasiun Cikajang.

Garut mengorbitkan KF Holle sebagai juragan sekaligus pangeran teh dari Priangan Ti mur. "Holle datang setelah kapal Sara Johanna merapat di dermaga Batavia pada 23 Februari 1844," ujar Antoni.

Catatan Hindia Belanda, sedikitnya ada delapan keluarga pengembang perkebunan Priangan yang harum namanya: Van Der Hucht, Kerkhovens, De Holles, Van Motmans, Bosscha, Mundt, Denninghofs Stelling, dan Van Heeckeren van Walien. Di se luas pegunungan Garut, keluarga Holle yang muncul namanya. "KF Holle mewarisi seluruh perkebunan teh yang ada di Cisaruni, Cikajang, dan Garut," ujar Antoni yang merupakan generasi keempat KF Holle.

Lepas arah selatan Kota Garut, terhampar perkebunan teh di daerah Cikajang.Per madani hijau tak berbatas semaksimal apa pun mata memandang. Perkebunan teh ini berada di kaki Gunung Cikuray. Perkebunan dibuka KF Holle usai bermitra dengan Karel Albert Rudolf Bosscha di Pa nga lengan, Bandung. Perkebunan teh yang menjadi kebanggaan warga Cikajang kini dikelola PTPN VIII.

Selain perkebunan teh, tak banyak sisa tanda kejayaan KF Holle di Garut. Menurut Antoni Holle, satu masa pernah Hindia Belanda membuatkan satu tugu Holle di halaman utara alun-alun Garut. Namun, patung itu dihancurkan pada masa kependudukan Jepang.

KF Holle bukan hanya terkenal dari urusan tanam dan menanam teh. Dia juga pernah didaulat sebagai Penasihat Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda. Kepeduliannya terhadap pendidikan rakyat lokal, dibuktikannya dengan mendirikan `Sekolah Pribumi' yang kini bangunannya beralih fungsi menjadi Mapolwiltabes Bandung.

"Keluarga Holle di Belanda masih meng anggap Garut adalah ibu tanah dari KF Holle, kami masih sering berkunjung,"

ujarnya.

Stasiun Cikajang, tertinggi di Indonesia

KF Holle meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi Hindia Belanda. Manifestasi perkebunannya terus berlangsung hingga sang pangeran teh tinggal nama.

Pada 1926, pemerintah Hindia Belanda berani bertaruh untuk membuat sarana penunjang yang terbilang mahal harganya.

Buah Manifestasi mahal yang kemudian saya temukan tak jauh dari Pasar Cikajang.

Tempat itu bernama Stasiun Cikajang, reruntuhan stasiun lebih tepatnya. Stasiun Cikajang merupakan stasiun peninggalan kolonial. Dibangun pada 1926 guna mere kayasa jalur distribusi teh di Jawa Barat sebelah selatan, Priangan Timur termasuk Garut.

Terbilang mahal karena stasiun inilah yang membuat Hindia Belanda meresmikan Stasiun Cikajang sebagai stasiun tertinggi di Indonesia (1.246 mdpl). Usai resmi ditutup pada 1983, predikat stasiun tertinggi barulah dipegang Stasiun Nagreg, Bandung (848 mdpl).

Stasiun Cikajang berdiri megah menghadap Gunung Cikuray membelakangi keindahan Gunung Papandayan. Pertama kali didirikan, Stasiun Cikajang terhubung dengan Stasiun Cibatu sepanjang 19 kilometer. Dari Cibatulah distribusi dilanjutkan menuju Bandung hingga sampai ke Batavia.

Merupakan keseriusan Belanda melanjutkan warisan KF Holle, sekaligus penunjang infrastruktur setelah sebelumnya pembangunan jalur kereta lain telah rampung untuk rute Pangandaran-Cijulang (82 kilometer) pada 1911-1914.

Sayangnya, Stasiun Cikajang telah termakan zaman. Bangunan itu dibiarkan mangkrak setelah 30 tahun terakhir tak lagi dilintasi kereta. Banyak tumpukan sampah di dalam bangunan seluas 400 meter persegi tersebut. Dinding yang kotor, cat yang terkelupas, hingga atap-atap yang tak utuh me lindunginya dari hujan. Bunyi berisik da ri seng-seng yang menganga, mewarnai perbukitan Cikajang yang kerap disapa angin kencang.

"Jejak-jejak dan sisa rel kini sudah berdiri rumah-rumah pendatang," ujar Dede (40 tahun), warga setempat tak jauh dari stasiun. Bahkan, menurut dia, banyak warga yang masih menjadikan bangunan itu sebagai tempat pembuangan sampah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Masjid Cipari.

Masjid Cipari yang Kaya Sejarah

Stasiun Cikajang pernah diledak-hancurkan oleh tentara Jepang pada 19421945. Kondisinya luluh lantak saat Jepang menganggap Cikajang merupakan jalur vital pengiriman tentara dari dan menuju Kota Garut. Tak hanya Stasiun Cikajang, banyak bangunan vital lain di Garut yang dibumihanguskan.

Tapi, tak demikian dengan salah satu bangunan yang tak luput saya kunjungi ini. Bangunan itu bergaya Eropa, berbentuk seperti markas militer, mirip seperti gereja, bahkan menyerupai perkantoran di masa kolonial abad ke-19 dan ke-20.

Namun begitu, bangunan itu sesung guhnya adalah masjid. Masjid As-Syura, yang berada di daerah Cipari, Kecamatan Pangatikan, Garut.

Merupakan masjid yang berusia cukup tua saat pertama kali dibangun pada 1896-1936.Bentuk Masjid As-Syura yang ber ben tuk gereja dan bergaya art deco-lah yang manjadikan bangunan ini disebut sebagai peninggalan spesial di Indonesia. Masjid Asy-Syu ra atau yang lebih dikenal dengan nama Mas jid Cipari, merupakan satu dari dua masjid di Indonesia yang memiliki arsitektur gereja.

Masjid satunya lagi adalah Masjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur."Karena mirip gereja, masjid ini tidak dihancurkan saat perang melawan Belanda dan Jepang," ujar Kunia Ardiansyah (57 tahun), salah satu anggota DKM Masjid Cipari.

Berdasarkan cerita turun temurun, Masjid didirikan saat ulama setempat KH Yusuf Taudziri mendirikan pondok pesantren tak jauh dari masjid. Pendirian masjid diarsiteki langsung RM Abikusno Tjokrosuyoso yang merupakan keponakan HOS Tjokroaminoto.

Masjid secara utuh berdiri dan diresmikan langsung oleh HOS Tjokroaminoto pada 1936.Atas izin Kurnia, saya berkesempatan menaiki menara Masjid setinggi 20 meter. Betapa mengagumkan, masjid ini berkeliling gunung dan pegunungan di sekitar nya. Dari ketinggian menara dapat ter lihat jelas pa norama banyak gunung di sekeliling masjid seperti Gunung Haruman, Papandayan, Ciku ray, Kendeng, Wa yang, Guntur, hingga sedikit pucuk dari puncak Gunung Piramida.

Masjid ini juga digunakan sebagai basis pertemuan tokoh SI (Syarikat Islam) dan tokoh nasionalis (PNI) pada masa pergerakan nasional. Pada era pemberontakan DI/TII, masjid ini dijadikan markas sekaligus pengung sian para pejuang dalam penumpas an pemberontakan. Beberapa lubang di tembok menara, menjadi saksi bisu betapa hujaman peluru pasukan Kartosoewirjo tak menumbangkan kekokohan masjid.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement