Ketika kadar benci seorang hamba berlebihan terhadap sesuatu, Allah dengan Maha Penyayangnya bersedia menegur.
Nama politikus senior ini mendadak tenar. Sebagai salah satu pemimpin sidang paripurna perdana DPR masa bakti 2014-2019, Popong Otje Djundjunan menjadi bintang dalam sidang paripurna karena tingkah unik dan celotehan khas Sundanya. Hingga Ceu Popong, begitu dia disapa, sempat kehilangan palu sidang dalam rapat tersebut.
Pengalaman religinya pun tak kalah unik. Kepada Republika, ia berkisah tentang pengalaman jenakanya di Tanah Suci dua tahun silam. Pengalaman itu justru menyadarkannya agar tidak membenci sesuatu secara berlebihan. “Sebelum saya berangkat haji, dua hal yang paling saya benci di dunia ini adalah bulu ketiak dan rorombeheun,” kata wanita asal Bandung, 30 Desember 1938, ini memulai ceritanya.
Foto:Rosa Panggabean/Antarafoto
Wajahnya serius ketika menyebutkan dua hal tersebut. Rorombeheun merupakan kata bahasa Sunda untuk keadaan tumit kaki pecah pecah.
Anggota DPR RI Komisi X ini berkata, jika ada orang-orang yang memiliki ketiak berbulu atau tumit pecah-pecah, ia merasa jijik. Namun rupanya, Allah tidak menyukai sikapnya yang terlalu berlebihan dalam membenci suatu hal. Di Tanah Suci, ia justru diperlihatkan dua hal yang ia benci.
Saat thawaf hingga shalat lima waktu di Masjidil Haram, ia selalu melihat dua hal yang dibencinya itu. Ketiak selalu ia lihat apalagi ketika thawaf karena memang pakaian ihram laki-laki memungkinkan bagian tersebut terlihat. Kaki rorombeheun pun tampak ketika menjalankan shalat lima waktu. “Rasanya lelah sekali, sering melihat itu,” kata politikus yang gemar membaca dan berorganisasi tersebut.
Kesadaran Ceu Popong terpantik saat ia tengah rehat menunggu rombongan di salah satu tiang Masjidil Haram dekat sumur zamzam. Sambil duduk menyelonjorkan kaki, Ceu Popong diperlihatkan sesuatu yang ia benci. Ketika itu, ada seorang lelaki tinggi besar menggunakan kain ihram, menatapnya dari kejauhan.
Lelaki itu perlahan-lahan berjalan mendekatinya. Ceu Popong ketika itu tidak berpikir macam-macam. Ia mengira, lelaki tersebut mengenalnya karena ia merupakan salah satu pengasuh salah satu lembaga pendidikan yang melibatkan para pelajar dari kawasan Timur Tengah. Setelah berjarak satu meter lebih, pria itu berhenti dan menatapnya. Ceu Popong dengan polos bertanya, “Aya naon, bade ka abdi?” Ia bertanya dalam bahasa Sunda yang artinya, “Ada apa, mau ke saya?”
Tapi, pria besar itu tidak berkata apa-apa. Justru secara mendadak, pria itu mengangkat salah satu tangannya dan menunjukkan ketiaknya di depan muka Ceu Popong. Sontak, Ceu Popong terpaku di tengah rasa tidak suka dan kaget. Pria itu pun pergi begitu saja, meninggalkan Ceu Popong yang terbengong-bengong. “Dari situ saya sadar, Allah sedang menegur saya,” ujarnya.
Teguran Allah bahwa terhadap segala hal, kita tidak boleh terlalu berlebihan. Entah itu membenci maupun menyukai. Ia mendapat hikmah, segala hal yang ada di alam dunia merupakan ciptaan Allah yang Mahakuasa yang mesti dihargai. Sejak itulah, kejadian aneh tak muncul lagi. Tak lagi ia melihat ketiak atau tumit pecah-pecah. Jikapun melihatnya, perasaannya tak segaduh dahulu.
Sepulang haji, ia semakin yakin akan kuasa Allah yang tak terbatas. Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati. Ketika kadar benci seorang hamba dirasa berlebihan terhadap sesuatu, Allah dengan Maha Penyayangnya bersedia menegur. Di sisa hidupnya, ia ingin terus bermanfaat bagi sesama dan sekecil mungkin tidak menjadi orang yang menyusahkan manusia lain. Dan tentu saja, Ceu Popong ingin terus menjaga hajinya agar senantiasa mendekati mabrur. rep:c78 ed: a syalaby ichsan