Jumat 04 Jul 2014 16:00 WIB

Ketegasan Imam Maliki

Red:

Suatu ketika, Khalifah Harun al-Rasyid mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada Imam Maliki. Dia meminta sang imam untuk membaca kitab Al-Muwatha’ karangannya di istana Bani Abbasiyah di Baghdad. Namun, Imam Maliki menolaknya.

Sang imam beralasan, ilmu harus dicari bukan ilmu yang mencari. "Semoga Allah memuliakan raja-raja Islam. Ilmu itu asalnya dari leluhur Anda (Harun al-Rasyid berasal dari keluarga Nabi Muhammad SAW --Red). Jika kamu memuliakan ilmu, ilmu itu tentu jadi mulia. Dan, sebaliknya, ilmu itu akan jadi hina jika kamu menghinakannya. Ilmu itu haruslah dicari, bukan ilmu yang mencari penuntutnya. Jadi, ilmu harus didatangi, bukan mendatangi."

Mendengar pesan Imam Maliki lewat utusannya, sang khalifah akhirnya "taat" kepada sang imam. Dia pun mengikuti ceramah bersama dua putranya di Madinah dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Demikian gambaran ketegasan imam bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaimah bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi tersebut.

Imam Maliki lahir di Madinah pada 93 H (712 M). Ia berasal dari keluarga Arab terhormat dan berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya, yakni Yaman. Namun, setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, merupakan anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada ke-2 H.

Sejak kecil, Imam Maliki tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah merupakan kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya. Kakek, ayah, dan pamannya pun termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah.

Karena keluarganya ulama ahli hadis, Imam Maliki pun mempelajari ilmu hadis dari sang ayah dan pamannya. Meski demikian, dia pernah berguru kepada ulama-ulama terkenal, seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz, tabiin ahli hadis, fikih, fatwa, dan ilmu berdebat; Imam Jafar Shadiq, dan Rabi Rayi.

Ketegasan sikap Imam Maliki juga diperlihatkan tatkala menentang keinginan penguasa yang tak sejalan dengan akidah Islamiyah. Dengan gagah, sang imam menentang tanpa takut dengan risiko yang dihadapinya.

Salah satunya, Ja’far, Gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah al-Mansur itu meminta seluruh penduduk Madinah melakukan baiat (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Maliki yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin jika penduduk Madinah melakukan baiat kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Dia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya baiat tanpa keikhlasan, seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Maliki tak menyebarluaskan pandangannya tersebut. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah Imam Maliki. Merasa terhina, Gubernur Ja’far pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Maliki sebanyak 70 kali. Sang imam berlumuran darah. Bersama lukanya, dia pun diarak keliling Madinah dengan seekor unta.

Namun, ternyata Khalifah al-Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan tersebut, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkannya untuk meminta maaf kepada sang imam.

Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Maliki bermukim di Ibu Kota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Maliki lebih suka tinggal di Kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah, kecuali untuk berhaji.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement