Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ada tujuan yang lebih hakiki di balik puasa, yakni mengendalikan hawa nafsu. Termasuk mengendalikan nafsu belanja berlebihan menjelang Idul Fitri.
"Ramadhan mengajarkan menahan diri. Maknanya menjadi hilang saat kita berlebihan menuruti nafsu belanja," kata Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Majelis Ulama Indonesia Faisal Badrun kepada Republika, Ahad (5/7).
Godaan berbelanja menjelang Hari Raya Idul Fitri memang sangat kuat. Ini karena para pedagang semakin gencar meningkatkan target penjualan. Berbagai cara mereka lakukan agar masyarakat mau berbelanja. Mulai dari mencekoki masyarakat dengan iklan berulang-ulang sampai bujukan potongan harga besar-besaran. "Tawaran-tawaran diskon ini termasuk salah satu godaan di bulan Ramadhan," ujar Faisal.
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Syafrudin Anhar melihat fenomena belanja besar-besaran pada akhir Ramadhan tidak lepas dari kebiasaan perusahaan memberikan THR kepada para buruh dan karyawannya. Syafrudin berteori, peningkatan pendapatan akan diringin peningkatan keinginan konsumsi. Alih-alih ditabung, THR biasanya dihabiskan untuk keperluan Hari Raya.
Masyarakat, khususnya umat Islam, sebaiknya tidak berlebihan saat berbelanja. Syafrudin mengatakan, jangan membeli barang di luar kebutuhan. Apalagi, hanya sekadar untuk memenuhi keinginan. Syafrudin mengatakan, Alquran surah Al Isra ayat 27 sudah mengingatkan pemboros atau orang yang berlebihan merupakan saudara setan.
"Islam sangat menganjurkan hemat bukan saja dalam aspek finansial, tetapi juga untuk bekal kehidupan di akhirat," kata dia.
Bersedekah atau berinfak lebih baik ketimbang menghaburkan uang untuk barang yang tidak diperlukan. Apalagi, Allah SWT telah menjanjikan pahala berlipat ganda bagi orang yang beramal saleh pada bulan Ramadhan. Syafrudin berharap, masyarakat tidak terkecoh dengan tawaran diskon belanja. Sebab menurutnya, sebelum memberi diskon perusahaan telah menaikkan harga pokok penjualan.
"Diskon adalah strategi perusahaan untuk menarik konsumen. Tidak ada perusahaan yang mau mengalami kerugian dalam menjual barang," ujarnya.
Menurut Faisal, ketidakmampuan Muslim menahan diri untuk belanja bisa diatasi mulai dari tataran keluarga. Orang tua harus mencontohkan sikap hemat kepada anak-anak selama Ramadhan. Makan sewajarnya, tidak perlu bermewah-mewah. Apabila masih ada baju yang bagus, tidak perlu membeli baju baru saat Lebaran.
Dai muda Ustaz Erick Yusuf mengatakan, orang yang bersikap mubazir adalah saudara setan. Artinya, seorang Muslim harus bisa mengendalikan nafsu berbelanjanya. "Dalam Alquran sudah jelas, innal mubadzirina kanu ikhwana syaitan," kata Ustaz Erick.
Orang yang berhasil dalam puasa adalah yang bisa mengendalikan diri. Ustaz Erick mengatakan, belanja sebaiknya sesuai kebutuhan dan tidak terlalu dipaksakan. "Proporsional sajalah," kata Pemimpin Lembaga Dakwah Integrated Human Quotient (Ihaqi) ini.
Sosiolog Musni Umar melihat, sebagian besar Muslim Indonesia baru mampu mengendalikan lapar dan haus saat berpuasa. Namun, gagal dalam membendung nafsu memiliki materi. "Mengendalikan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari mungkin bisa, tapi, di luar itu, seperti tidak tercermin hasil latihan pengendalian dirinya," kata dia.
Tingkat konsumsi saat Ramadhan bisa meningkat hingga 100 dari hari biasa. Menurut Musni, hal ini karena orang-orang berbelanja tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi keinginan. Musni berharap, Idul Fitri menjadi momentum Muslim Indonesia mengendalikan hawa nafsu. "Karena, setiap yang mubazir tidak disukai Tuhan," ujar Wakil Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta ini. c93/c38 ed: M Akbar Wijaya